Pelangi Cinta Kelabu

October 07, 2011



Ada apa ini? kenapa gelap? aku tidak bisa melihat apapun, aku hanya dapat mendengar suara  isak  tangis dari luar sana. kenapa? kenapa? kenapa ini? kenapa mereka menimbun tubuhku dengan tanah. tidak.. tolooong! dan kamboja itu pun luruh diatas kepalaku...
                                                                        ***

            Suara teriakan, caci maki itu terus saja mengalun dari bibirnya. kucoba menutup telinga rapat-rapat, tiada guna. Mataku masih dapat melihat apa yang sedang terjadi. Kucoba lagi untuk menutup mataku, tiada suara, tiada gambar yang dapat kutangkap lagi. Lega.
Seseorang menepuk bahuku pelan, aku sontak kaget. Aku menoleh, gelap. Perlahan kubuka kelopak mata, kudapati sosok tua yang rinkih, ibu yang tengah terisak, seperti seorahng balita yang nyaris kehilangan mainan kesayangannya. Tubuh ibu terjatuh dihadapanku, tubuhnya yang kurus keronta, yang sering memanen tamparan, pukulan dari seorang lelaki bejat tak bermoral.
Kuraih tubuh ibu, berusaha membopong tubuhnya. Kutatap mata ibu dalam-dalam.                        "Apa yang sudah lelaki itu lakukan lagi dengan ibu?". ibu tidak menyahut, hanya tangisan yang kudapat. aku terdiam senja di ufuk barat memerah. Hanya langit yang mampu menemani gundahku saat ini dan seterusnya.
                                                                        ***

            Bising. ricuh. riuh...
Kelas ini tidak pernah sedikitpun hening. Begitu banyak hal konyol yang mereka lakukan. Meskipun begitu, aku sedikitpun tidak tergoda dengan rutinitas yang mereka lakukan. Aku lebih memilih menyendiri disudut kelas menatap langit dari jendela kelas, terasing seorang diri. Tidak ada yang berniat mengajakku untuk bergabung, bahkan hanya untuk bertegur sapa pun tidak. Aku enggan, dan tidak peduli.
            Sekolah ini begitu menyiksa. omong kosong jika mereka mengatakan masa-masa paling indah di sekolah. Apa gunanya? hanya membuang waktu, energi dan tentu saja uangku. Semakin menambah luka dalam nurani ini yang terus menumpuk terus menggunung bak sampah yang terdapat disamping rumah petakku. Kesenjangan sosial ini membuat aku tersenyum miris.
            Bel berbunyi, masuk. Aku terus duduk dipojokkan kelas berusaha mengikitu pelajaran aljabar, logaritma atau apappun namanya itu. Akal ku sudah tidak dapat menjangkau lagi. Terlalu bodoh untk bisa mengikuti pelajaran sekolah yang memang seharusnya tidak diperuntukkan bagiku. sampai bel pulang berbunyi dan seterusnya pun aku tetap duduk terpojok disudut kelas sendiir, teronggok seperti sampah.
                                                                        *** 

            Peluh ditubuhku sudah tak dihiraukan lagi. Matahari menantang dengan arogannya. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. kupandangi teman-temanku yang pulang sekolah dengan riangnya, sambil tertawa mereka berceloteh tentang agenda  mereka sore hari nanti. Telingaku tak sengaja menangkap pembicaraan sorang gadis cantik, sepertinya teman sekelasku. Aku lupa namanya, lebih tepatnya tidak tau namanya. Gadis itu berceloteh bahwa sore ini dia akan nge-date dengan pacarnya. Nge-date, hanging out kata-kata itu sering kudengar dari mereka. Aku pernah menanyakannya kepada mereka apa artinya. bukannya jawaban yang kuterima malah tertawaan dan hinaan yang kuperoleh dari mereka.
            "Hahhaha.. idiiih, dasar kuper, cupu loe !" kata mereka. Cupu? kuper? apa lagi itu? aku menggarut-garut kepalaku yang tidak gatal, berlalu meningggalkan rombongan remaja borjuis itu. Mereka masih terus saja menertawai dan men-judge ku dengan bahasa "tinggi" mereka yang tidak dapat kupahami. Untuk apa aku mengetahuinya? gadis seperti aku tahu apa, desirku dalam hati. Klakson mobil mengagetkanku dari lamunan.                                           "Hey cewe cupu ! jalan yang bener sedikit kenapa?" umpat cowok tersebut dari dalam kemudinya. dia berlalu memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah jalan kota Jakarta yang macet. Aku terbatuk-batuk menghirup asap dari mobilnya. hanya tersenyum. Bisa apa gadis seperti aku untuk marah??
                                                                        ***

            Gubraaaak.. plaak !
Suara itu lagi. langkahku terhenti didepan rumah. ehm, tepatnnya hanya ruangan berukuran 3x4 m. tempat tinggalku, sebatas untuk bernaung dikala panas membakar kulit, dikala dingin menusuk tulang. enggan masuk. kualihkan langkah menjauh dari gubuk ku. kuayunkan langkah mengelilingi pemukiman kumuh di selatan kota Jakarta. pemandangan yang amat kontras dengan gedung-gedung pencakar langit, dengan perumahan-perumahan elite, dengan kehidupan masyarakat kelas atas yang tidak pernah merasakan getirnya hidup. Bekas jalan tol ini membantu kami unuk bernaung, setidaknya kami tidak perlu kucing-kucingan dengan para petugas tata kota yang selalu usil mendesak para gepeng dan pemulung untuk gulung tikar dari gubuk yang  mereka tempati. hanya bisa mendesak, tanpa bisa memberikan solusi untuk kami para warga miskin.
            Anak-anak kecil berlari dengan riangnya, mereka bertelanjang dada, dengan lalat yang senantiasa mengikuti mereka berlari, aroma tubuh mereka yang berbau dengan daki yang banyak menempel mengundang sekawanan lalat untuk mengintil. Bagi ibu mereka, memandikan anak-anaknya hanya membuang waktu untuk menggais rejeki demi sesuap nasi. toh mereka sudah beasa dan bisa mandi sendiri, pikir ibu-ibu  mereka.
            Kulayangkan pandangan keseluruh penjuru lingkungan kumuh ini. Tak ada sedikitpun kesan indah, hanya tumpukan sampah yang semakin menggunung, semakin menggunung sampah maka angka pendapatan yang kami peroleh semakin besar. yah itulah, sampah yang membuat kami dapat teru bertahan, onggokan berbau yang dianggap tak layak itu menjadi malaikat penolong, ketimbang para pejabat yangmalah berlomba-lomba merongrong harta negara. Menjijikan seperti SAMPAH !!
                                                                         ***

            Senja di sampah...
Rumah, bukan maksudku gubuk ini seperti kapal pecah, hal biasa yang sudah tidak asing lagi. Aku cuek. seperti biasa ibu menagis disudut ruangan dengan mata lebam bekas tonjokkan. yah dari bapak.
            "Cinta, kamu sudah pulang.." panggil bapak mengagetkanku.
            "Iya", jawabku singkat. Bapak melangkah dengan sempoyongan, dapat kurasakan aroma bir murahan yang banyak dijual di perumahan kumuh ini.
            Mata bapak merah menatapku, seraya meracau tak jelas. kemudian dia linglung terkulai di lantai. aku mengendus. jijik. Kuracik teh untuk ibu, teh panas kesukaannya, dengan sedikit pestisida. Kuberikan teh itu kepada ibu yang terus ketakutan dipojokkan.
            "Ibu minum teh ini dulu.." kuserahkan cangkir berisi teh itu padanya, dia menolak. Matanya malah membelalak menatapi setia sudut ruangan dengan ketakutan. Aku terus mencoba membujuknya.
            "Minumlah teh ini bu, maka dengan seketika penderitaan ibu akan berakhir.." bujukku. ibu terkejut, dapat kurasakan ibu sangat tertarik mendenngar rayuanku tadi. Segera teh tersebut berpindah dari tanganku, teh tandas ibu minum dengan sekali teguk. Aku tersenyum, senyuman iblis menghiasi wajahku.. ibu jatuh tak sadarkan dati lagi. Kuberlari menuju dapur, mencari golok yang biasa bapak pakai menebang pohon untuk kayu bakar. Tubuhku serasa lepas kendali. bukan aku yang ada didalam tubuh ini. aku tertawa, terus tertawa tak jelas. tawa mengerikan yang membuat bulu kuduk merinding. tawa kepedihan, tawa kesepian...
            Tenagaku menjadi habat, kuayunkan golok ketubuh bapak yang tengah terkulai dilantai. hanya selaki tabas darah sudah menyiprat dari tubuhnya, mengenai wajahku, tubuhku..aku puas. tawa itu semakin meledak tak terkendali. apa yang kulakukan? siapa yang melakukan ini semua? kenapa aku??
            Setiap detail wajah ku pandangi didepan cermin tua pemberian kakek. mata ini, mulut ini , hidung ini sampah.. mukaku berubah menjadi sosok yang mengerikan, hitam bertanduk, menyeringai dengan sinisnya.. golok itu pun melayang ketubuhku. masih dapat kulihat makhluk hitam itu menampakkan senyum kemenangannya. aku kalah.. semua gelap.


Epilog :
            Satu keluarga tewas, tidak diketahui penyebabnya. polisi hanya menemukan sepucuk surat yang berisi "Aku lahir disampah, dibesarkan disampah, dam menghembuskan nafas terakhir disampah..." Polisi menduga keluarga ini stress dengan kesulitan hidup yang mereka alami....

@echisianturi

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Total Pageviews

Translate