MEMBUNUH BAYANGAN

April 10, 2012


-->

Echi Sianturi


            “Ada yang mengikutiku”, wajah Imran nampak mengguratkan kecemasan. Sejak sejam yang lalu dia hanya mondar-mandir di ruangan berlantai marmer itu. Derap langkahnya bergemang di penjuru ruangan, dihembuskannya asap rokok dari sela-sela mulutnya. Imran menghela nafas panjang. Menatap lekat sosok wanita yang duduk manis dihadapannya.
            “Siapa maksudmu?”, ujar wanita itu lugas, matanya yang indah mencoba mencari kejelasan pada diri Imran.
            “Siapa?”, wanita itu bertanya untuk yang kedua kalinya. Hujan diluar masih setia membayangi malam.
            “Hitam”, ujar Imran pelan, dibuangnya puntung rokok begitu saja, “Menakutkan”, lanjut Imran tertahan. Digigitnya bibir berusaha menahan laju kegelisahan.
            “Aku rasa dirimu butuh istirahat”, wanita itu menepuk punggung pelan. “Istana” Imran.
            “Ziska....”, desah Imran gundah.
                                                                        ***
            Peluh membasahi wajah Ziska, wajahnya kuyuh tersengat oleh panasnya matahari yang garang. Diraihnya sebotol air mineral dari dalam tas mungilnya, seteguk air putih mampu memuaskan hasrat keluh kerongkongannya.
            Ziska merebahkan sejenak dirinya dibawah pohon beringin yang rindang, sapuan angin membelai rambut pendeknya yang hitam. “Tidak ada waktu untuk bersantai-santai”, Ziska mencoba menutup matanya sesaat, dinikmatinya bau tanah yang baru tersiram hujan. Menenangkan sedikit jiwanya.
            “Ziska!”, suara teriakan mengagetkan Ziska dari istirahatnya yang hanya sejenak. Ziska menoleh mencari arah datangnya suara penggangu itu.
            “Kamu menyebalkan Lina”, ujar Ziska. Lina tertawa, berusaha mengelak dari lemparan botol air mineral Ziska.
            “Maaf, aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu”
            “Aku tidak apa-apa, jangan khawatir aku profesional”
            “Kamu yakin?”, tanya Ziska sembari mengenyitkan dahi.
            “Entahlah”, ujar Ziska enggan, “Jakarta terlalu kejam”, sambung Ziska.
            “Kau benar Ziska”, sahut Lina. Matanya menerawang kebawah, pemukiman kumuh yang kontras dengan gedung-gedung pencakar langit di pusat kota Jakarta.
            Sesekali Ziska dan Lina melontarkan senyum, ketika anak-anak kecil yang bertelanjang dada, bertelanjang kaki menyapa mereka hangat dengan seulas senyum polos, berceloteh riangnya. Lina menyerahkan sebuah koran terbitan Ibukota edisi terbaru, Ziska membaca Headline koran yang sedang heboh membahas tikus-tikus pemerintah yang marak mengembar-gemborkan alibi mereka. Ziska menelan ludah, mengembalikan kembali koran itu kepada Lina.
            “Kamu tidak syok?”, tanya Lina khawatir. Sesaat Ziska terdiam, membiarkan Lina menunggu sepatah kata yang keluar dari mulutnya.
            “Tidak”, jawab Ziska singkat.
            Matahari semakin tinggi, panas menyengat tidak bersahabat. Langkah Ziska dan Lina yang gontai bergegas meninggalkan rimbunnya pohon beringin, basecamp mereka saat jam istirahat tiba. Akar-akar pohon yang menjulur panjang nan kokoh sering menjadi tempat anak-anak kumuh disekitar situ bermain. Mereka tidak mampu membeli mobil remote control atau pergi ke Disneyland yang hanya mereka tahu dari Televisi. Itu pun Televisi yang mereka tonton bersama di rumah pak RT mereka.
            Kartu pengenal Ziska bergoyang seiring dengan derap langkah kakinya, beradu dengan waktu. Dia sudah terlambat. Masih banyak pekerjaan yang menanti, kru yang lain sudah sejak tadi berkumpul hanya tinggal menunggu kedatangan Ziska.
            Kepala divisinya yang arogant menatap sinis Ziska yang baru sampai, “Darimana kamu? Sudah jam berapa sekarang?”, ujar kepala divisi Ziska seraya menunjuk jam tangannya yang berkilauan.
            Ziska tertunduk bersalah, “Maaf pak”, jawab Ziska pelan. Bergegas bergabung dengan para rekan kerjanya. Mobil melaju kecepatan tinggi meluncur ke Bunderan Hotel Indonesia.
            Ricuh, rombongan pendemo begitu antusias melontarkan orasi mereka. Aspirasi yang mengecam tindak korupsi yang semakin merajalela, semakin mengakar di jantung pemerintahan. Ziska menerobos kerumbunan demostran yang jumlahnya sekitar 1000 orang. Garangnya matahari semakin membuat kondisi tidak nyaman. Sesekali tubuh Ziska terhuyung-huyung tertabrak oleh pendemostran, kakinya sempat terinjak beberapa kali. Ditariknya nafas panjang. Aku harus kuat, batin Ziska merana.
            Jalanan macet, kendaraan terpaksa dialihkan kejalan lain. Para pendemostran memblokir hampir separuh badan jalan, membakar beberapa ban bekas. Angin yang berhembus kencang membawa bau ban bakar yang menyesakkan dada. Ziska terus menembus keramaian, “Ayo cepat kameramen kesini”, teriak Ziska diantara kerumunan pendemostran. Sang kameramen kerepotan mengikuti langkah kaki Ziska, beban kamera yang berat membuat geraknya agak sedikit terhambat.
            “Kameramen siap?”, tanya Ziska, kameramen mengacungkaan jempolnya.
            “Selamat siang pemirsa, sekarang saya sedang berada di Bunderan Hotel Indonesia. Para pendemostran yang terdiri dari mahasiswa serta rakyat sipil menuntun pemerintah untuk segera mengusut tuntas kasus korupsi yang menyeret nama pejabat tinggi di Pemerintahan Pusat”, Ziska terdiam sejenak. Dialihkan pandangannya kearah pendemostran yang dengan semangat berkobar-kobar meneriakkan yel-yel anti korupsi.
            “Bisa pemirsa saksikan sendiri suasana disini ricuh, para pendemostran tampak begitu bersemangat menyuarakan aspirasi mereka. Para pendemostran yang diperkirakan lebih dari 1000 orang hampir memadati hampir separuh badan jalan. Akibatnya terjadi kemacetan sepanjang lebih dari 2 kilometer. Saya Ziska Anastasya melaporkan dari Bundaran Hotel Indonesia”. Ziska  menyudahi laporannya, tubuhnya terjepit diantara para pendemostran. Aparat kepolisian sudah tidak mampu menangkal para pendemostran yang semakin beringasan. Tertatih Ziska berusaha menyelamatkan dari dari kericuhan, gas airmata membuatnya tidak dapat melihat keadaan disekeliling. Pandangannya mengabur, tubuh lemahnya tersungkur di tanah.
                                                                        ***
            Bau obat. Ziska masih belum sadar sejak kemarin, infus terpasang dilengannya. Wajahnya masih pucat pasi, Lina tetap setia menunggui Ziska, “Cepat siuman Ziska”, pinta Lina lirih.
            Terdengar ketukan pintu, Lina bangkit dari kursinya. Dibukanya pintu kamar Rumah Sakit, Imran datang menerobos masuk begitu saja kedalam. “Kamu datang untuk menjenguk Ziska?”, tanya Lina, Imran tidak mengindahkannya, dia malah berlalu begitu saja mendekati ranjang Ziska. Dipandanginya wajah Ziska yang tertidur, “Seharusnya dia berhenti dari pekerjaan bodoh itu”, ungkap Imran.
            Lina tersentak, “Jangan mengatakan pekerjaan bodoh Imran”.
            “Jaga baik-baik dia”, pinta Imran. Sosoknya menghilang dibalik pintu, Lina mendengus kesal.
            “Sudahlah, sifatnya memang begitu”, Ziska membuka kelopak matanya perlahan, “Jangan kesal”, sambung Ziska pelan.
            Lina tersenyum lebar, “Kamu sudah sadar, syukurlah”, ungkap Lina riang. Ziska mengangguk pelan, seraya bangkit dari ranjang sembari meringis kesakitan memegangi kepalanya yang masih terasa berat. “Aku tidak suka bau obat”, keluh Ziska. “Apa kamu sudah menunaikan permintaanku tiga hari yang lalu?”, sahut Ziska mengingatkan.
            “Soal itu?”, Lina berdehem, dibukanya tirai jendela cahaya matahari menyeruak masuk kedalam ruangan. “Tenang, semuanya akan menjadi terang. Bukti sudah ditangan”. Yakin Lina. Mereka memandang awan yang bergumpal berarak indah.
            “Tapi, aku rasa tidak semudah itu”, Ziska menggeleng. Matanya menerawang lekat sosok Lina yang duduk disampingnya. Angin berhembus sepoi, menciptakan irama syahdu pada pepohonan rindang diluar.
            Lina menarik nafas panjang, pandangannya belum beralih dari pepohonan diluar sana. “Walaupun begitu kita harus tetap mencobanya”, Lina beranjak, meraih tas serta HandPhone nya yang tergeletak diatas meja.
            “Aku mau pergi, ada urusan lain. Cepatlah sembuh masih banyak yang harus kita lakukan kedepan”, Lina mencium pipi Ziska pelan, dilambaikannya tangan. Ziska hanya mampu memandang tubuh Lina dari kejauhan, tubuhnya belum begitu pulih. Ngilu masih mengerayangi setiap inci tubuhnya. Dia merinding setiap kali mengingat kejadian yang hampi saja merenggut nyawanya, “Aku beruntung masih diizinkan Tuhan melihat dunia”, ditariknya selimut lebih erat. Pagi sudah beranjak dewasa, tetapi hawa dingin masih terasa pekat. “Aku ingin istirahat lagi”.
                                                                        ***
            Langit memerah di ufuk barat, tanah basah. Masih nampak sisa-sisa bekas hujan, air hujan menetes dari sela-sela dedaunan. Imran mengigil kedinginan, ditariknya lebih erat jas hitamnya. Tubuh tinggi semampainya keluar dengan elegant dari dalam mobil berwarna metalik keluaran terbaru. Langkah-langkah panjangnya masuk menuju “istana” mewahnya.
            Imran terkejut mendapati sosok Ziska yang basah kuyub didepan halaman rumahnya, “Sedang apa kau disini?”, tanya Imran keheranan. Ziska tertunduk lesu, Imran masih dihinggapi keheranan, “Masuklah”, ajak Imran.
            Mereka berdua masuk kedalam rumah Imran tang mewah, semua perabotan merupakan barang kualitas nomor satu. Tak segan-segan Imran menyewa arsitek terkenal dari luar negeri hanya demi memuaskan hasratnya memiliki rumah impian bak Istana di Negeri dongeng.
            “Sebenarnya ada masalah apa?”, tanya Imran.
            “Apa kam tidak menyuguhkanku segelas coklat hangat? Kamu lihat sendirikan aku kedinginan?”, pinta Ziska. Imran tertawa sinis, “Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan”.
            Keduanya saling terdiam, hanya dentingan jam dinding yang terdengar. Hari sudah beranjak malam. “Masih ada yang mengikutimu?”, kata Ziska setelah beberapa saat terdiam.
            “Aku sedang tidak ingin membahasnya”, Imran bergegas pergi tetapi Ziska sigap menahannya. Digenggamnya tangan Imran erat, “Ceritalah padaku”, pinta Ziska sangat.
            Dihempaskannya tangan Ziska, “Sosoknya menyeramkan”, ungkap Imran seraya melangkah mendekati sederetan miniatur yang tertata rapi di lemari kaca, tangannya menganbil miniatur Voldemort, “Kau tahu Ziska, aku sekarang diliputi kecemasan yang luar biasa mencekam. Seperti Harry Potter yang ketakutan saat berhadapan dengan musuh bebuyutannya Voldemort. Sosok itu begitu menyeramkan. Aku kadang dia menyeringai buas”, Imran memegangi kepalanya, angin memainkan gordeng rumah, petir menyambar bersahut-sahutan.
            Ziska terdiam, menunggu Imran kembali menceritakan keluh kesahnya, “Ziska, sekelebat bayangan itu selalu mengikutiku, dimanapun aku pergi, kapanpun bisa dipastikan dia pasti selalu ada”, teriak imran putus asa, nafasnya memburu.
            “Apa ada hubungannya dengan ini??”, Ziska melemparkan sebuah koran dengan Headline yang tertulis dengan huruf kapital “KASUS KORUPSI MENYERET NAMA IMRAN RAHARDIAN”, Paras imran semakin pias, “jawablah...”, sambung Ziska.
            Imran merobek koran itu hingga menjadi serpihan-serpihan kecil, dibuangnya begitu saja kelantai, “Apa kamu percaya pemberitaan murahan seperti ini Ziska?”.
            “Cukup!!!”, teriak Ziska lantang, ditatapnya Imran dengan mata berkaca-kaca, “Aku sudah bekerja dibidang Jurnalistik lebih dari lima tahun? Apa kamu pikir aku orang bodoh yang bisa dengan mudahnya dibohongi?”, ujar Ziska.
            “Kau sadar apa yang telah kamu perbuat Imran? Berapa banyak rakyat yang sudah kamu buat menderita. Hampir setiap hari aku bertemu dengan anak-anak gelandangan, mereka selalu mengeluhkan hidup mereka yabg tidak pernah berubah. Terkurung dalam jurang kemiskinan yang setiap saat siap menghantamkan mereka. Aku berusaha meringankan beban mereka, mengelola rumah singgah, mengajari mereka membaca, menulis. Tapi, lihat apa yang sudah  kamu lakukan Imran, bagaimana mungkin tunanganku bisa melakukan hal sekejam itu??”, Ziska terisak dengan airmata yang melaju semakin deras.
            Hujan diluar disana semakin deras, seolah menemani Ziska. Imran hanya dapat termenung, memandangi Ziska yang menangis tersedu-sedu, “Jangan menangis lagi”, bujuk Imran, diusapnya airmata yang membanjiri pipi Ziska.
            “Mengakulah dan serahkan dirimu kepada KPK...”
            Imran terlonjak kaget, dipandanginya paras Ziska geram, “Apa kamu sudah gila?”
            “Iya, aku memang sudah gila? Tapi, aku akan lebih gila jika membiarkanmu terus dalam kubangan dosa”, teriak Ziska. Tangan Imran mulusnya melayang kewajah Ziska. Ziska meringis kesakitan memegangi pipinya yang memerah, “Kamu menamparku?”, gumamnya tertahan, Imran gemetaran dijauhinya Ziska.
            “Aku tahu siapa yang mengikutimu selama ini....”
            “Apa? Siapa?”, buru Imran.
            Ziska menunjuk kearah imran, “Dirimu, yah dirimu sendiri. Bayangan hitam yang menakutkan itu adalah manifestasi dari dirimu sendiri”. Bergegas Ziska meninggalkan Imran yang kebingungan, diterobosnya hujan yang menguyur kota Jakarta.
            Imran terduduk di lantai, diresapinya lagi ucapan yang dilontarkan oleh tunangannya tersebut. Dia kacau, dibiarkannya HandPhone yang sejak tadi meraung-aung. Terbayang lagi sekelebat sosok bayangan yang hampir setiap hari mengikutinya. Membuat aktivitasnya terganggu, membuatnya harus mengunjungi psikiater hampir setiap minggu. “Apa maksudnya?, batin Imran.
            Suara Ziska terus terngiang ditelinganya, “Manifestasi dari dirimu sendiri, dirimu sendiri, dirimu sendiri, dirimu sendiri….”, ucapan Ziska terus berulang-ulang terdengar, terngiang. Imran berusaha menutup telinganya rapat-rapat. Matanya membelalak, sekujur tubuhnya dibasahi oleh keringat yang mengucur deras. Dibantingnya barang-barang yang berada disekitar, semua pora-poranda.
            “Tidak, ini semua omong kosong!!”, umpat Imran, sekelebat bayangan itu mengusiknya kembali, wajah yang hitam legam, menyeringai buas dengan liur yang menetes dari sudut bibirnya, lambung Imran terasa bergocang, dimuntahkannya makanan-makanan mewah yang baru dia santap tadi sore di Restaurant berkelas diseputaran blok M. lantai basah, bau amis menyeruak kepenjuru ruangan, terus saja dia memuntahkan makanannya.
            “Pergi, pergi kamu dari kehidupanku”, Imran berlari menaiki tangga menuju kamarnya, dikuncinnya pintu rapat-rapat. Dia meringkuk ketakutan sisudut kamar, matanya menerawang kesekeliling. Dia mengacak-acak rambutnya, menutup matanya. Sosok bayangan itu masih ada.
            “Kamu berani denganku? Kamu tidak tahu siapa aku? Hahahaha”, Imran tertawa keras, mencoba menantang bayangan yang terus saja membayanginya.
            “Kamu mau aku bunuh?, yah kamu akan aku bunuh dasar keparat!!”, tubuh Imran lunglai, tertatih langkahnya menuju sebuah lemari, diraihnya sebuah Tokalev, pistol yang mempuyai kemampuan membunuh yang tinggi. Dipegangnya erat Tokalev itu, seraya mencari sosok bayangan yang selalu menghantui setiap jejak langkah kotornya.
            “Ayo kemari tunjukkan rupamu”, Imran bersiap menekan pelatuk. Tubuhnya mengigil hebat saat dia mendapati sosok bayangan itu dicermin. Bukankah itu dirinya sendiri? Dia menekan pelatuk peluru meluncur mulus, meluluh lantakkan cermin didepannya. Imran tertawa bahagia.
            “Aku? Aku? Kenapa aku yang muncul didepan cermin? Tidaaaaak!!”, ditariknya pelatuk Tokalev lagi, peluru membabi buta. Suara tembakkan terdengar jelas, Imran masih ketakutan.
            “Aku harus membunuh bayangan yang mengerikan itu!!”, ditariknya pelatuk, peluru terakhir meluncur menembus pelipisnya. Hening, sepi. Dan bayangan itu lenyap diantara tubuhnya yang bersimpah darah, membaur bersama kubangan dosanya.
                                                                                ***
           

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Total Pageviews

Translate