Primer Amor
January 01, 2013
Echi Sianturi
“Ayo, tandatangan disini”, dia
menyerahkan sepucuk surat sembari menunjukkan sederetan giginya yang putih. Aku
dengan heran mengambil kertas yang dia berikan, tulisan tangan. Yah, tulisan
tangannya yang sangat aku kenal.
Aku memandangi wajahnya bingung,
“Tulisanmu jelek, nggak kebaca”, aku tersenyum jahil sembari mengejeknya.
“Ahh, dasar kamu ini menyebalkan.
Sini!”, dia menarik kembali kertas itu dengan sedikit gusar. Aku hanya tertawa
renyah melihat tingkah lakunya yang childish.
“Coba dengar baik-baik yah. Ini
perjanjian LDR (Long Distance Relationdhip) kita”, ungkapnya serius. Aku
mengangguk-angguk kepala masih sedikit dihinggapi kebingungan. Perjanjian macam
apa ini?
“Ehem..ehem.. Perjanjian LDR. Satu”,
ujarnya dengan lantang. Aku tertawa kenbali, tingkah laku nya mengingatkan aku
pada upacara hari senin saat pembacaan Pancasila. Aku terkekeh-kekeh.
“Diam jelek!”, gumamnya gusar. Aku
seketika terdiam meski sisa-sisa tawaku masih tersimpan banyak. Siap kembali
melanjutkan menyampaikan perjanjian LDR aneh nya tersebut.
“Yang pertama, kalau nggak SMS berarti
nggak ada pulsa. Yang kedua, kalau marah atau bertengkar nggak SMS maksimal 3
sampai 7 hari. Yang ketiga, jangan selingkuh maksimal batas normal berteman.
Dan yang terakhir harus menurut kata aku. Demikianlah perjanjian LDR kita…”,
dia termenung sesaat memandangi kertas perjanjian yang ada dihadapannya. Akupun
tidak bisa mengatakan sepatah katapun. Perjanjian LDR itu mengingatkan aku
bahwa kami, aku dan dia akan segera berpisah untuk kurun waktu yang lumayan
lama, terpisahkan oleh dua pulau, terpisahkan oleh lautan.
Dia meraih sebuah pulpen, jemarinya
menari lincah menorehkan tandatangan diatas kertas perjanjian. “Sudah aku
tandatangani, sekarang gantian”, dia menyerahkan pulpen itu kepadaku. Dengan
tangan gemetar aku pun membubuhkan tandatangan, kugigit bibir berusaha menahan
kesedihankku yang terus, terus saja menanjak.
“Jangan selingkuh. Kalau kangen kita
bisa melihat bulan yang sama walaupun jauh jadi terasa dekat”, gumamnya pelan.
Wajahnya berusaha menyembunyikan guratan kesedihan.
Dia menghela nafas panjang, sesekali
memandangi jam dinding rumahku. “15 menit terakhir kita duduk dikursu ini. Aku
Cuma bisa melihat jarum merah itu melaju dengan cepatnya, keriduan kita yang
nggak bisa menghalangi cepatnya waktu yang sudah kita habiskan bersama didepan
jam itu”. Dia berhenti, kembali memandangi jam dinding. Aku tergugu, bulatan
bening mulai kembali menyembul dimataku.
“Jelek…”, panggilnya padaku. Aku
mengangguk, berusaha tersenyum mesti sukar, sangat sukar. “Jelek, aku selalu
dan akan ingat semua yang pernah kita lakukan bersama. Kekanak-kanakkan kita
yang belum bisa mengerti apa itu waktu. Dan 10 menit terakhir ini kamulah yang
mengisi hati ini seutuhnya”, dia menunjuk dadanya, tersenyum manis. Senyumana
yang sebentar lagi akan jarang kulihat, yang pasti akan sangat aku rindukan.
“Aku ingin kita berdua hari ini, sampai
kita nggak bisa berdua lagi. 5 menit terakhir ini aku Cuma mau mengatakan kalau
aku harus pergi. Aku pamit. Aku mau menggapai cita-cita, cita-cita kita berdua.
Cuma kamu, hanya kamu yang akan aku sayang selamanya. Maaf untuk hari ini yang
nggak bisa memberikan kamu senyum kebahagiaan. Aku rindu saa-saat kita berdua.
Aku sayang kamu”, dia berdiri, beranjak dari tempat duduknya menghampiri
diriku.
“3 menit terakhir. 2 menit terakhir. 1
menit terakhir. Aku mau bilang. Aku sayang dengan kamu. Aku pasti pulang…”.
Dicubitnya pipiku pelan. Hatiku berdegup kencang. Lidahku terasa keluh, tidak
mampu berkata apa-apa. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku juga sangat
menyayanginya. Aku ingin mengucapkan kalimat itu berulang kali semampuku sampai
dia bosan. Dan aku hanya mampu mengantarkan keprgiannya dengan do’a. Menatap
punggungnya dari kejauhan diantara asap klalpot motor yang dia kendarai. Semoga
Yogyakarta ramah padamu, batinku lirih. Airmata inipun tak dapat kubendung lagi
lajunya.
***
Hujan...
Hujan selalu membangkitkan kembali
letupan-letupan memori yang mulai membeku. Aku seorang pecinta hujan. Aku akan
segera berlari keluar, menengadahkan tangan merasakan sejuknya titik-titik
hujan membasuh kulitku. Bersama rinainya yang pernah menahan dia untukku, waktu
itu. Sudah lama. Lama sekali...
Aku merasa bahagia saat hujan mengguyur.
Aku dapat memandangi wajahnya diantara titik-titik hujan yang berjatuhan.
Mencium aroma tubuhnya yang berpadu dengan bau tanah basah yang tersiram hujan.
Semuanya.
Dan aku kembali mengingatnya. Tapatnya
tidak bisa dan tidak sanggup menghapus semua jejak tentangnya. Saaat dentingan
waktu terus bergulir, beranjak meninggalkan bulir-bulir masa lalu. Aku masih
statis. Masih setia dengan mimpi, angan tentangnya yang erat membelenggu
hatiku.
“Mengapa kamu masih enggan melupakan
dia?”, tanya Peni sahabatku. Aku hanya mampu terdiam, terenyuh dan terseyum.
“Aku masih menunggu janjinya pen...”,
jawabku datar sembari membolak-balik buku. Pikiranku membuyar, tak mampu lagi
fokus dengan bacaan didepanku. Masih diam, masih hening. Masih dengan hujan
yang menggembiri senja.
I like sing in the rain... so we like
sing in the rain...
“Dia akan pulang menemui aku enam bulan
lagi, menjelaskan semua alasan mengapa dia ingin hubungann kami berakhir...”
“Dan kamu percaya?”. Kejar Peni. Kututup
buku, mendekati Peni menatap dalam matanya. Dia diam, akupun ikut terdiam.
Kulayangkan pandangan menjauh dari awan yang berarakan mendung diluar sana.
Angin memainkan pepohonan dipekaranganku. Mendesah nafas panjang, memejamkan
mata. Menelan ludah getir.
“Percaya. Entah mengapa aku masih
mempercayai dia. Dia akan pulang menepati janjinya. Jadi, apa perlu alasan
untuk semua itu? Karena dia adalah....”, aku menghentikan kalimat. Tak kuasa
menyebut namanya, walaupun ingin sekali. Dengan geletar bibir kueja namanya.
Bulatan bening mulai menyembul dimataku,
daada berdengup, hati bergetar. Ada rasa rindu yang kembali mengertak. Cinta
masa putih abu-abu yang kusimpan rapat didalam hati. Gemuruh rindu yang masih
dapat kurasakan hingga saat ini. Getaran-getaran melodi cinta yang masih
mengalun dengan indah, hingga kesetiap denyut nadiku.
“Langitku bawalah seluruh kesedihanku
bersama anginmu. Biarlah kusimpan semua isi hatiku ini. Cerita kita”. Batinku
dalam hati. Masih hujan. Hujan ini yang menjadi saksi bisu, bahwa aku tetap
sama. Bahwa dia tetap membuatku berbunga-bunga seperti apa yang aku inginkan.
***
Semua tentangmu selalu membekas di
hati ini...
Cerita cinta kita berdua akan
selalu...
Aku memandangi cover buku berwarna ungu
yang berada dihadapanku "Primer Amor 2". Kuraba perlahan buku
pertamaku dengan kegembiraan seraya melantunkan hyme suka cita. Kubungkus buku
tersebut dengan kertas kopi. Secara perlahan dengan penuh rasa kasih sayang
seperti ibu muda yang tengah memandikan anak pertamanya. Mataku berkaca-kaca,
kugigit bibir berusaha menyunggingkan seulas senyum yang tertahan.
“Sesuai janji aku akan mengirimkan
setiap bukuku yang telah terbit. Buku yang aku tulis sendiri dengan
jemarai-jemariku ini”, aku menarik nafas panjang memandang kembali bungkusan
itu.
“Sebentar lagi pak pos akan datang
ketempatmu, membawa paket yang dibungkus kertas kopi. Tunggu saja didepan pintu
rumahmu yang tidak bernomor. Aku tidak mengerti apa yang aku lakukan ini benar?
Yang aku tahu aku melakukan ini semua untukmu. Cuma dengan cara ini aku bisa
berkomunikasi denganmu lagi, meski hanya sekedar menanyakan apakah paketku
sudah sampai atau belum? Meski sesaat, meski akan lekas berlalu”.
Dan sore itu, hujan menemaniku kembali,
memelukku, mendekapku bersama kenangan tentangnya. Aku berharap hujan dapat
menghayutkan namanya, semua tentangnya. Salahnya terlalu banyak menggoreskan
memori didalam hatiku, didalam ingatanku.
Dia Cinta pertamaku...
0 comments