Berlian Milik Ibu

June 17, 2013


“Dan memang benar adanya sosok tua nan ringkih itu tetap bersinar laksana berlian, menerangi dan menguatkan aku...”



Sudah tak aku hitung lagi, berapa lama sang waktu bergulir. Meninggalkan jejak-jejak kenangan yang terkadang perih. Airmata yang menetes, bak hujan saat kemarau. Tak aku duga kedatangannya, menetes terus menetes melubangi hatiku. Aku teringat ketika diriku masih mengenakan seragam putih biru, dengan semangat masa remaja yang bergelora. Setiap hari menyambut mentari bersama senyuman hangat yang terhias manis diparas wajahku. Tidak ada duka pada waktu itu, tetapi takdir Tuhan berkata lain. Takdir dariNya sudah tertulis, tintanya sudah kering tak dapat aku rubah lagi kenyataan yang terjadi.
Ibu, sosok yang kini begitu ringkihnya dengan uban yang mulai memenuhi rambutnya. Entah, rasanya airmataku ingin meluncur deras setiap menatap wajahnya. Raut wajahnya yang tampak kelelahan, keriput yang sudah tak dapat lagi ditutupi. Ibu, tak dapat lagi berjalan, dia lumpuh. Ibuku terkena stroke.
Aku tak punya daya apapun untuk menolongnya, pemikiranku yang dulu masih kekanak-kanakan hanya mampu menangkap satu cara, yakni berdo’a. Aku tak mau melihat tubuh ibu yang dibopong tetangga memasuki rumah. Kala itu aku terbaring sakit, terkulai tak berdaya. Dalam tangis yang panjang aku hanya mampu berkata “Tuhan lindungi Ibuku”, aku mengatakan kalimat yang sama terus menerus seperti kaset kusut.
Sepedih apapun itu, kodrat harus tetap dijalankan. Waktu terus bergulir, dan aku sempat tenggelam bersamanya. Aku terpasung waktu, aku berharap kapan Tuhan akan menghentikan waktu sehingga beban dipundakku berangsur raib. Hati ini bagai ditusuk beribu jarum, terasa nyeri.
Berhari-hari aku mengurung diri di kamar, ketika keluargaku sibuk mengurus ibuku. Aku bingung harus berbuat apa, aku tidak ingin teman-temanku tahu bahwa ibuku tak dapat lagi berjalan. Tak dapat kulupakan pemikiran bodohku, seorang siswa kelas 2 Smp saat itu. Sosokku yang lari dari masalah, mencoba seolah tak terjadi apapun. Mencoba tegar ditengah badai keterpurukan. Silahkan saja masalah datang beruntun, tetapi jangan ibuku. Batinku.
Bungsu Ibu yang kini mulai beranjak dewasa, yang sudah naik tingkat. Setelah badai gelap datang, menerjang mental. Aku mengikhlaskan waktu yang telah lama itu. Waktu yang tak dapat kulalui lagi bersama dengan wanita paling perkasa didalam hidupku. Aku sudah lupa, bagaimana rasa masakan ibuku. Rasa, bau, dan bentuk masakannya. Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kali aku bersama dengan ibuku pergi bersama meskipun hanya berjalan-jalan disekitar perkarangan rumah. Semua lenyap tak berbekas, lenyap ditengah laut merah.
Terkadang rasa iri hinggap dihati. Melihat orang lain tertawa, bersenda gurau gembira bersama Ibu mereka. Bermanja, berkeluh kesah, semuanya...

“Lapangkan hatimu seperti langit...”

Kata-kata master piece yang sampai saat ini masih tersimpan dimemori otakku. Ditengah memori tentang mata kuliah yang menguras otak. Aku masih mengenang, mencoba terus mencoba menjadi langit. Langit yang begitu luas, langit yang tenang meneduhkan walau kadangkalanya mendung datang menghampiri. Keinginan untuk menjadi seorang langit, untuk Ibuku. Langit yang menaunginya saat rapuh seperti sekarang.

“Derap kaki-kaki lunglai menggembiri fajar. Tetes demi tetes peluh bagai tak berarti. Jiwa perkasa titisan Siti Khadijah. Agung. Engkau surgaku... Inilah janin yang dahulu mengendap dalam janinmu. Mengusik sedikit cela kehidupan. Diam-diam mencuil sari pati. Memberontak, menerjang, mengelijang... Bertahanlah, tetap perkasa duhai Ibunda. Janin yang telah terlahir ini akan terus berada disisimu...”


            Beribu untaian puisi tak cukup menggambarkan agungnya Ibu. Betapa berharganya dia disetiap episode kehidupanku hingga kini dan nanti. Ibu adalah berlian, dirinya adalah berlian dalam keluargaku. Berlian milik ibu, hanya milik ibu. Bersinar, terangi langkahku yang kelam. Aku tak ingin menukarkan berjuta berlian dengan berlian milik ibuku. Berlian milik ibuku tak mampu terjangkau. Tak masalah bagiku dengan keadaanya sekarang, dia tetap berlian sampai dunia berhenti berputar pada porosnya. Karena dialah aku belajar banyak hal, karena dialah yang membuatku tegar. Karena dia adalah separuh nafasku, separuh jiwaku dalam kehidupan ini.
            Tuhan, aku terus berharap suatu saat nanti datang keajaiban. Ibuku dapat berjalan kembali. Sehingga aku dapat berkumpul lagi bersamanya. Bersamanya, semua kenangan akan aku abadikan. Akan aku abadikan bersama kata. Kutuliskan semuanya. Kubiarkan jemariku menari lincah diatas kertas. Meluncurkan setiap moment demi moment bersama Pahlawan hidupku. Sehingga semua orang tahu bahwa aku adalah seseorang yang sangat beruntung mempunyai sosok Ibu sepertinya.
            Usia senja telah menghampirinya. Tetapi, jangan khawatir Ibu sebisa mungkin bungsumu ini akan selalu menjagamu. Mendoakanmu dalam setiap sujudnya, menangis meminta pertolonganNya. Selalu akan aku lakukan demi kesembuhanmu.




            Ibu, persembahanaku hanya sebuah kado kecil mungkin yang bagi sebagian hanya dipandang sebelah mata. Sebuah buku yang aku tulis sendiri dengan jemari-jemari ini. Tulus, hati yang terdalam. Teruntuk Ibuku Fatimah dan Seluruh wanita di dunia. Semoga Cinta selalu menghiasi kehidupan kita...
(Echi Sianturi, Bayi mungilmu yang sudah beranjak dewasa)


You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Total Pageviews

Translate