Rahasia, tetap menjadi rahasia ~
January 15, 2014
Aku mencintainya. Dia
yang hanya dapat aku amati dari kejauhan. Yang hanya dapat aku nikmati
punggungnya. Dia yang selama ini selalu mengisi relung hatiku. Tidakkah dikala
seseorang dilanda kegalauan, cintalah yang mampu mencerahkan kita?
Suatu ketika aku bersua
sejenak dengan teman setiaku. Aku menyempatkan bercengkrama dengannya barang
sejenak, tentang rahasia kehidupan yang menjadi tanda tanya besar dalam setiap hari-hariku.
“Siapa yang tertarik dengan wanita bermata minus?
Yang tidak memiliki keahlian selain berkutat dengan kata-kata dan bergulat
dengan dunianya sendiri?”, tanyaku gundah. Mataku tetap tak beranjak sedikitpun
menatap langit dan awan lekat-lekat.
“Percayalah, manusia memiliki
keunikannya masing-masing kawan.” Jawabannya tak lantas membuatku puas, dan
akupun kembali bertanya lagi.
“Terlalu banyak teka-teki.”
“Bukan dunia namanya jika semua tak rahasia.”
“Apakah termasuk jodoh?”
“Semua sudah jelas tertulis di Lauhul Mahfuzh
kawan jangan khawatir. Tinta takdir sudah dituliskan dan kering.” Jawaban
terakhir yang sangat bijaksana. Namun, tetap saja tak mampu menjawab
pertanyaanku tentang rahasia.
“Mengapa kau bertanya soal jodoh? Apa kau ingin
segera melepas masa lajangmu?”, tanya temanku sedkit bingung. Matanya menatapku
dalam seolah mencari kepastian dari pertanyaannya. Aku tetap bungkam tak
bergeming. Sudut-sudut bibirku bak mati rasa, aku tak mampu berkata. Ini soal
rasa, dan aku tak sanggup mendeskripsikannya secara gamblang seperti aku sedang
menuliskan seluruh rasa. Aku tak akrab dengan lidah, aku tak akrab dengan
mulut, aku tak akrab dengan mereka. Aku lebih memilih diam, bersama dengan
kata, pena dan kertas usangku.
Rasaku terlalu dalam untuk dilontarkan, terlalu
tabu untuk didengar mereka. Ini soal rasa, dan rasa soal hati, dan hati tentu
saja menjadi rahasia hati.
“Aku khawatir jika aku kelak tak dapat
bersamanya, walaupun hanya sekedar bersama dalam mimpi malamku”.
“Itukah yang menyebabkan kau khawatir? Hingga
berlama-lama menatap langit, menatap awan? Mencoba menenangkan diri diantara
sekumpulan awan yang berarakan bebas di langit luas kawan?”, dia kembali menjejaliku dengan berjuta pertanyaan.
“Awan memiliki Filofosi karena bentuknya yang
selalu berubah harus rela luruh menjadi rintik hujan. Bentuknya selalu berubah
mengikuti hukum alam, jatuh kesungai, mengalir kelaut lalu menguap ke langit
dan kembali menjadi awan lagi. Bukankah titik hujan tak pernah bertanya, kenapa
mereka harus meninggalkan tata langit? Saat harus jatuh membasuh bukit”.1
“Awan selalu mengagumkan, dia memiliki filosofi
yang sedemikian indahnya tentang penghambaan”, temanku mendesah pelan. Angin
sore membelai pelan rambut panjang nan indah milikknya. Mata coklatnya terpejam
beberapa saat.
“Menerima takdir apakah termasuk salah satu
bentuk penghambaan?”, masih banyak pertanyaan yang mengelayuti kalbuku.
“Mungkin”.
“Mungkin? Tidak bisakah kau memberikan jawaban
yang kongkrit atas pertanyaanku?”
“Aku bilang mungkin. Semua tergantung dengan
presepsimu tentang hidup. Apa itu penghambaan. Apa itu takdir, jodoh, maut.”
“Aku mencintainya, sama seperti aku mencintai
langit dan seisinya”, aku mendekap erat fotonya. Foto yang diam-diam aku curi
dari profil facebooknya, foto yang
diam-diam selalu aku amati setiap malam hari sebelum aku terlelap memejamkan
mata.
“Jika kau mencintainya, maka biarkanlah dia
bebas. Bukankah kau mencintai awan?”
“Aku tak sanggup melakukannya”, ucapku kalut,
mataku mulai berair. Tak tertahankan lagi perih didada.
“Mengapa?”. Temanku tetap saja mencercaiku
dengan segerombolan pertanyaan.
“Karena aku tak ingin dia bersama dengan orang
lain”
“Jika demikian kau tak sungguh-sungguh
mencintainya kawan”.
***
Echi Sianturi
Di Tanah Tuhan
13 Januari 2014 21:46
1 : Dikutip dari “Rectoverso” – Dewi “Dee” Lestari
0 comments