Aku, Kami. Kita merindukan sosok itu. Soe Hok Gie.
March 17, 2014
“Lebih baik diasingkan daripada
menyerah terhadap kemunafikan” – Soe Hok Gie
Pertentangan batin serta prinsip
dengan lingkungan sekitar, semakin terasa ketika saya memasuki bangku
perkuliahan. Entahlah, pertentangan demi pertentangan tersebut tak kunjung
surut. Malah semakin memanas di dalam hati dan pikiran. Hati memberontak dengan
ketidakadilan yang acapkali sering saya temui dalam kehidupan sehari-hari.
Rakyat jelata yang bahkan, makan pun mereka harus terlebih dahulu berjuang,
menggais sisa-sisa makanan dari dalam tong sampah. Sedangkan, orang
disekitarnya tahu dan melihat tetapi diam membisu. Tak peduli, hati tlah mati.
Bukan hal
yang mudah penentang arus kemunafikan. Manusia-manusia munafik yang tlah buta akan
sekitar, yang tak peka dengan keadaan sesamanya perlahan berevolusi menjadi
viru yang mematikan untuk negeri ini. Tak ada lagi rasa persaudaraan, Bhineka
Tungga Ika hanya menjadi lagu lama. Hanya sebuah semboyan kuno yang tak jelas
lagi apa makna sesungguhnya. Abu-abu.
Dunia kini memang tak lagi ramah, ada
saja hal yang membuat saya menggelus dada. Seolah dijepit dari dua sisi yang
berlawanan. Hal yang saya pegang teguh selama ini, sekarang diujung tanduk. Inilah
saatnya pembuktian, apakah saya mampu menjadi pemenangnya. Menjadi seorang
pemuda yang mampu lahir menjadi salah satu motor penggerak bangsa yang sedikit
demi sedikit tlah hilang kearifan lokalnya.
Katanya pemuda merupakan agent of change, semangat perubahan.
Tetapi, saya tak menemukan atmosfer tersebut di lingkungan tempat saya menimba
ilmu selama kurun waktu hampir 4 semester ini. Mungkin saya yang tak peka atau
yah memang benar adanya dugaan saya. Bisa jadi. Saya merindukan lingkungan dimana
terdapat pemuda-pemuda hebat dengan semangat membangun Indonesia kearah yang
lebih baik. Bukan pemuda yang sekarang sedang trend disebut dengan cabe-cabean ataupun terong-terongan.
Yang mana aktivitasnya hanya bergelut seputar mall, dan gadget.
“Kehidupan benar-benar membosankan
saya. Saya merasa seperti monyet tua
yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin
merasakan kehidupan kasar dan keras, diusap oleh angin dingin seperti pisau
atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil. Orang-orang seperti
kita ini tidak pantas mati di tempat tidur” – Soe Hok Gie
Sekilas kutipan dari Soe Hok Gie
tersebut mewakili pula perasaan bergejolak saya saat ini. Apalah, arti hidup
saya selama ini jika tak bisa memberikan kontribusi apapun untuk orang lain.
Sungguh menyedihkan jika akhirnya saya hanya mampu menjadi seorang pecundang
hidup, yang melihat ketidakadilan tepat di depan matanya namun hanya terdiam
seribu kata. Enggan bertindak. Layaknya manusia lainnya, siapa yang tidak ingin
hidup dalam kenyamanan? Namun, saya ingin keluar dari kenyamanan tersebut.
Mencari ketidaknyaman, membuat saya belajar memaknai apa itu hidup. Dan disisi
lain, keluar dari zona aman memuat pikiran kita semakin kritis dan terbuka
bahwa kita, para pemuda sangat dinantikan kehadirannya diluar sana. Mengisi slot-slot
kosong dalam masyarakat, peran pemuda sangat dibutuhkan bukan hanya sebagai
seorang mahasiswa, menimba ilmu di kampus. Namun, ada hal yang lebih nyata,
peran pemuda sebagai penggerak perubahan. Masyarakat menunggu kalian wahai
pemuda! Keluar dari zona aman dan kalian akan menemukan kesejatian dari seorang
pemuda!
Perbedaan, kontradiktif dalam
kehidupan itu wajar. Yang tak wajar adalah ketika perbedaan itu hilang.
Mungkin, perbedaan tersebut diciptakan Tuhan agar kita mampu menerawang,
mencari celah makna kehidupan yang sesungguhnya. Tentang pencapaian abadi,
bahwasana manusia yang merupakan makhluk sosial menjadi beda dengan sesamanya
ketika dia mampu menelisik, dan menemukan perubahan dalam bidang kehidupan.
Ibu Pertiwi, aku merindukan sosok Soe Hok Gie. Pemuda dengan
segala kegilaannya, dengan semangat serta keberanianya.
Echi Sianturi
Bandarlampung
17 Maret 2014, 00:15
Masih berperang dengan pemikiran
sendiri.
0 comments