Sungguh, Allah memang Maha Penggengam Mimpi…
October 05, 2014
Ada
satu hal penting yang saya pelajari kali ini. Percakapan ringan dengan seorang
teman via Short Message, tentang
impian. Sekitar beberapa bulan yang lalu, saya mendapatkan informasi tentang AIESEC
Unila. Dan tentu saja, saya tertarik karena salah satu cita-cita saya adalah
pergi keluar negeri dan menjelajah alam, budaya, kehidupan sosial masyarakat
luar.
Ketika
saya melihat persyaratannya, hati saya mulai diliputi kekhawatiran. Apakah saya
dapat memenuhi semua persyaratannya? Saya ditemani oleh salah satu sahabat
karib saya, Metty pergi ke Universitas Lampung untuk menemui salah satu anggota
dari AIESEC Unila, Kak Rahman. Saya dan Metty sempat kebingunan mencari Kak
Rahman di Fakultas Hukum. Maklumlah, saya bukan mahasiswa Unila. Jadi, serasa
agak janggal ketika harus menemui Kak Rahman di Fakultas Hukum.
Selang
beberapa saat kemudian, saya bertemu dengan Kak Rahman. Kami berbincang-bincang
santai, dan Metty hanya diam saja mendengarkan percakapan kami berdua. Saya
menanyakan beberapa hal tentang AIESEC. Ada beberapa tahapan yang harus di
laksanakan. Pertama saya harus mengisi Booklet
yang telah Kak Rahman berikan kepada saya. Booklet tersebut berisi tentang identitas yang harus saya isi, data
pribadi. Alasan saya mengapa ingin mengikuti AIESEC Unila.
Saya
sangat bersemangat ketika itu, dan mulai memilih Negara mana yang akan saya
pilih. Tentu saja pilihan saya jatuh pada salah satu Negara di Eropa, Germany. Namun, saya sempat terdiam
ketika saya membaca Fee yang tertera
disana. Tidak mau diliputi rasa penasaran, saya pun bertanya dengan Kak Rahman.
“Kak,
ini fee maksudnya apa yah”,
“Ooh,
jadi begini dek AIESEC itu tidak sama dengan PPAN. Kalau PPAN semua ditanggung
oleh pemerintah, kita tinggal menyiapkan dokumen saja. Tapi, berbeda dengan
AIESEC. AIESEC kita bayar sendiri, kita membayar Fee sesuai dengan Negara tujuan kita. Semakin jauh Negara tujuan
kita maka akan semakin besar fee yang
harus disiapkan”, jelas Kak Rahman.
Mendengar
penjelasan dari Kak Rahman, saya tetiba lesu. Waah, darimana saya mendapatkan
uang sebanyak itu? Didalam benak saya AIESEC sama seperti PPAN, semua gratis
pemerintah yang membayar. Beberapa menit, saya terdiam. Dan mengatur nafas,
agak sedikit kaget dengan kenyataan yang saya dengar.
“Ooh
begitu kak. Kalau testnya apa saja yah kak?”, Tanya saya lagi masih penasaran.
“Pertama
tentu saja seleksi berkas, setelah kamu selesai mengisi Booklet ini kita akan ada interview.
Interview nya ga terlalu formal kok, mencakup tentang diri kamu aja”.
Lagi-lagi
saya terdiam. Waah, testnya berantai.
“Interview-nya ada dua sesi. Pertama sesi
Indonesia yang akan meng-interview adalah
teman-teman dari AIESEC Unila termasuk kakak. Dan Interview sesi kedua adalah Interview dengan pihak Negara yang akan
kamu tuju nantinya”, tambah Kak Rahman.
Dan lagi-lagi saya menelan ludah
gentir. Langkah pertama sayapun sudah dijegal dengan rasa tidak percaya diri
mendengar kata “Interview”. Jujur, saya memang tidak terlalu pandai jika
berbicara di depan umum. Ada rasa tidak percaya diri yang seringkali
menghinggapi. Setelah merenung beberapa saat, saya pun pamit dengan Kak Rahman
dan teman-teman AIESEC Unila lainnya. Saya melangkah meninggalkan Fakultas
Hukum dengan langkah gontai. Ditambah lagi dengan sengatan matahari di siang
hari itu yang sangat terik. Saya dan Metty harus berjalan cukup jauh untuk
mencapai parkiran. Saat menuju parkiran terlintas di benak saya untuk mundur
teratur dari AIESEC Unila.
Ketika saya sudah mulai melupakan
keinginan untuk mengikuti seleksi AIESEC. Divo, salah satu teman satu jurusan
saya ternyata sudah melejit lebih dahulu. Dia lulus seleksi berkas dan Interview. Kontan saja, saya diliputi
perasaan gembira sekaligus agak menyesal. Mengapa dulu saya tidak mencoba
hingga tahapan seleksi Interview. Saya
sudah ditumbangkan oleh satu kata saja, yakni Fee.
Doain
yah neng, semoga semuanya lancar…
Ketik
Divo ketika saya berbincang dengannya via pesan singkat. Saya menggigit bibir
pelan. Keinginan yang sungguh gigih dari seorang teman sejawat. Pantas saja
Allah menganugerahkan kemudahan kepadanya. Sedangkan saya? Baru langkah awal
saja sudah diliputi rasa tidak percaya akan berhasil. Padahal, Allah yang
menentukan segalanya. Fee masih dapat
dicari dengan mengajukan proposal ke Instansi Pemerintah. Aah, sudahlah nasi
sudah menjadi bubur.
“Kenapa
ente pilih Malaysia kang? Padahal kan Vietnam lebih menarik deh kebudayaannya”.
“Karena
di Malaysia kan ada dosen kita yang lagi melanjutkan S3 nya, jadi kalau ada
apa-apa ada yang bantuin ane. Lagipula, Malaysia dekat dengan Singapura. Ane
juga nanti sekalian mau kesana, berkunjung ke Negeri impian ane, hehee”.
Saya
semakin dibuat terpukau membaca pesan singkat dari Divo. Tuhan, ketika dia
semakin berjalan bahkan berlari menuju impiannya. Saya disini masih berjalan
ditempat. Masih menikmati zona nyaman yang saya buat sendiri. Zona nyaman yang
akan mengurung saya hingga tak mau berusaha lebih keras.
Dia begitu berusaha keras.
Memulainya dari tahapan awal, hingga merasakan keribetan birokrasi dalam mengurus
passport dan dokumen lainnya. Pontang-panting tak kenal lelah mengajukan
proposal ke berbagai Instansi Pemerintah. Mengajukan proposal ke kampus
meskipun akhirnya proposalnya di-reject karena alasan tidak ada hubungannya
dengan kampus. Mendengar proposalnya ditolak oleh kampus, saya hanya mampu
menghela nafas dan berceracau kesal sendiri di kamar. “Waah, kampus sepertinya menolak proposal karena mau membangun
Dinosaurus baru lagi, ckck”, umpat saya dalam hati.
Sungguh, Allah memang Maha
Pengenggam Mimpi. Saya hampir saja melupakan hal tersebut. Tidak ada tempat
lain yang paling sempurna untuk menggantungkan harapan serta mimpi-mimpi kita.
Selain kepadaNya, Dia Dzat Pemilik Alam Semesta. Pengatur takdir manusia. Ya
Allah Ya Rabbi, teruslah genggam mimpi-mimpi.
Echi Sianturi
Ps. Status-status Divo di Facebook
mengenai kegiatannya di Malaysia buat gue envy. Tunggu gue supaya mengikuti
jejak ente buat go to abroad gan! Yeay! Bismillah.
0 comments