In Memoriam Soe Hok Gie
December 16, 2014
Mahameru menjadi saksi bisu. Indonesia, 45 tahun yang lalu
kehilangan salah satu putra terbaik bangsa. Soe Hok Gie. Gie meninggal ketika
melakukan pendakian ke Gunung Semeru bersama dengan teman-temannya, menghirup
gas beracun. Meskipun, Gie sudah lama tiada. Namun, sosoknya masih tetap hidup
di hati dan ingatan bangsa Indonesia. Gie patut dikenang tidak semata-mata
karena andil dan keterlibatannya dalam gerakan penumbangan Orde Lama serta
lahirnya Orde Baru. Ia juga berada di hati dan ingatan bangsa Indonesia karena
totalitas perjuangan dan sikap hidupnya yang luar biasa dalam menegakkan
kebenaran, keadilan, serta kemanusiaan.
Gie adalah potret manusia
yang dilanda sepi. Kesepian itu harus ia terima sebagai konsekuensi dari
pilihan idealisme, keteguhan hati, dan kesetiannya pada kebenaran. Gie sadar
bahwa kesepian akan datang dan ia siap menerimanya. Ia juga menyadari bahwa
seorang intelektual yang bebas adalah pejuang yang selalu sendirian.
Bagi saya Gie adalah
sosok mahasiswa “Gila” yang sangat inspiratif.
Idealismenya memang layaknya
pohon Oak yang tak pernah goyah diterpa badai kemunafikan. Ketika orang-orang
buta akan kekuasaan, dia mencoba untuk memperbaikan apa yang semestinya harus
dilakukan. Idealismenya patut diberikan apresiasi. Sebagai seorang manusia,
khususnya mahasiswa idealisme adalah harta tertinggi yang dimiliki. Kenikmatan terakhir
yang dimiliki ketika orang-orang menggadaikan idelisme mereka, seorang Idealist
yang tetap berpegang teguh dengan apa yang ia percayai akan menjadi pemenang.
Sikap apatis yang kerap
kita dapati disekitar kita adalah salah satu cerminan ketidakpedulian akan
suatu hal yang seharusnya menjadi sorotan. Sesuatu yang harus kita benahi
bersama namun seperti angin hanya akan lewat dan berlalu begitu saja. Sikap apatis
akan membunuh secara perlahan, dimana didalam jiwa tak ada prinsip. Apa yang
harus dipercayai, apa yang harus dilakukan, siapa yang harus dipercaya dan
lainnya. Sikap apatis akan hanya membawa seseorang terombang-ambing di tengah
kapal tanpa adanya nahkoda. Idealisme.
“Nasib
terbaik adalah tidak dilahirkan,
Yang
kedua dilahirkan tapi mati muda,
Dan
yang tersial adalah umur tua.
Rasa-rasanya
memang begitu.
Bahagialah
mereka yang mati muda.”
(Soe
Hok Gie)
Gie seperti sudah
mempunyai firasat jauh didalam lubuk hatinya. Penggalan diatas merupakan salah
satu catatan hariannya yang menjadi saksi bisu kegamangan hatinya dengan
keadaan disekitarnya. Sekali lagi, Mahameru menjadi saksi bisu. Ketegangan Gie
sebelum menjemput ajal di puncak keindahan, di puncak tertinggi di pulau Jawa. Menghembuskan
nafas terakhirnya di tempat yang menjadi pelabuhan kegelisahan hatinya. Gunung.
Izinkan saya mengunjungi,
menginjakkan kaki di Mahameru. Mengingat dan mengunjungi peraduan terakhirmu
Gie. Saksi bisu kesedihan dan kegelisahan yang berbaur menjadi satu. Kesedihan dan
kegelisahan yang perlahan menghilang tertutup awan, bersama dengan desiran
angin yang menusuk kulit. Soe Hok Gie tak pernah mati. Gie tetap hidup di hati
Bangsa Indonesia.
Echi Sianturi
Bandar Lampung,
16 Desember 2014
0 comments