Monolog Hati ~

December 19, 2014




“Kamu. Jangan sampai kelak menyesal karena dengan secara sengaja menghindariku secara perlahan”, wanita berperawakan sedang, memiliki rambut bergelombang nan hitam itu hanyut dalam kesedihannya sendiri. Airmata dipelupuk mata tampak menggenang, sebentar lagi akan jatuh dan luruh dipipinya. Dia masih saja menceracau tak jelas sedari tadi. Masih gamang, hatinya masih tersayat oleh luka yang digoreskan oleh seseorang yang amat dia sayangin.
“Tak ada alasan apapun, jika dia benar-benar mencintaiku. Dia akan tetap bertahan disisiku walau bagaimanapun keadaanya. Remuk redam rasanya tetiba dengan sengaja dan sadar dia meninggalkanku. Ada ruang yang kosong, yang hampa. Mungkin terdengar klise. Namun, kau akan merasakannya sendiri kelak. Ketika kau merasa sudah menemukan pelabuhan terakhir hatimu. Setelah sekian lama terombang-ambing dalam ketidakmenentuan”. Tak ada yang menghiraukan celotehannya. Orang-orang sibuk dengan aktivitas mereka sendiri. Duduk terdiam di halte. Menanti hujan yang sejak sejam yang lalu menguyur kota berhenti. Bau hujan tetiba menimbulkan sesak didadanya. Biasanya dia menyukai hujan, sebelum dia terluka oleh seseorang yang dia sebut “Elang”.
“Bau hujan ini membuatku mual. Baunya seperti bau busuk hati elang, sang penghianat. Entah, aroma apa ini. Menjijikkan. Seperti Elang, ingin rasanya aku memuntahkan seluruh isi perutku dihadapan muka bertopeng malaikatnya”. Dia masih dirundung kesal, kecewa yang tak bertepi. Semua larut dalam satu, monolog hati wanita yang kecewa. Rambutnya dibiarkan terurai begitu saja, berantakan. Lipstiknya sudah tak merona merah seperti beberapa jam yang lalu, eyeliner pun sudah luntur terkena air hujan. Penampilannya kacau balau. Bajunya tampak kusut, tak biasanya dia berpakaian semrawut seperti itu. Dia selalu menjaga penampilannya, dahulu ketika masih bersama dengan Elang.
“Apa tak ada satu orangpun disini yang iba padaku? Aku baru saja disakiti oleh cintaku sendiri. Oleh cinta yang tak semanis madu, cinta yang tak seindah dongeng didalam duniaku. Cinta sialan yang membuatku mual akan kata-kata romantis yang amat memuakkan. Bah!”. Tak dihiraukannya pandangan aneh orang disekelilingnya. Dia masih berlanjut melanjutkan celotehan kekesalan demi kekesalannya. Monolog hati berisi kekecewaan yang tak kunjung terobati.
“Cinta membuatku diabetes. Terlalu manis, sangat terlalu manis, hahaa. Sampai-sampai membuatku hilang logika. Lepas control dan berpikir waras”. Dia berusaha tertawa lepas, berusaha tertawa terbahak-bahak namun usahanya gagal. Dia tak mampu menutupi sakit hatinya yang teramat dalam. Hujan masih belum berhenti, kilat saling menyambar. Hujan Nampak enggan membiarkan sedikitpun jeda untuk berhenti, walau sekenanya. Wanita itu masih saja memainkan perannya dengan apik. Bermonolog dengan perasaannya sendiri. Ada saja hal tentang Elang yang membuatnya semakin terguncang. Hingga hujan reda, dia masih tetap berdiri mematung dengan pandangan kosong. Menatap langit malam mendung yang tak berbintang.
“Elang, kau membuatku tak percaya dengan cinta lagi. Sialan!”
***

Echi Sianturi
Menanti Hujan, Bandar Lampung 19 Desember 2014

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Total Pageviews

Translate