Ketika Badan Eksekutif Mahasiswa Mati Suri
January 28, 2015
Badan
Eksekutif Mahasiswa, Organisasi ini tidak asing bagi kalangan mahasiswa. Namun,
bagaimana jika organisasi ini hibernasi selama lebih dari delapan tahun?
Begitulah yang terjadi dengan BEM di kampus saya. BEM sudah mati suri selama
lebih dari delapan tahun. Memasuki bangku perkuliahan, layaknya mahasiswa baru
yang sangat enerjik saya menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang kegiatan
di kampus. Malangnya, BEM organisasi
yang saya harapkan menjadi wadah penyalur aspirasi mahasiswa mati suri dan tak
tahu kapan akan hidup kembali.
Saya kecewa. Kekecewaan tersebut masih terselubung
didalam hati saya sampai saat ini. BEM hanya menjadi organisasi yang tak
berarti. Dan lingkungan kampus yang telah menanungi saya selama dua tahun ini
pun tak memberikan tanda-tanda akan menghidupkan kembali Organisasi kampus yang
sebenarnya sangat dibutuhkan oleh mahasiswa. Tak ada yang bersuara, saya pun
enggan bersuara. Dimana keadaan tak mendukung, saat lebih memilih diam dan menunggu.
Meskipun saya menyadari bahwa sikap acuh seperti itu tak akan pernah
menyelesaikan permasalahan.
Saat ini saya sudah memasuki semester lima. Terjadi suatu
keajaiban di kampus, saya tertuju pada pamphlet yang menghiasi majalah dinding
kampus. Pemilihan calon ketua HIMA (Himpunan Mahasiswa) Sastra Inggris. Ada
tiga calon ketua yang tertera di pamphlet tersebut, saya mengenal seluruh calon
anggotanya. Namun, lagi-lagi saya lebih memilih tak mendukung siapa-siapa.
Sikap skeptis seperti ini sebenarnya terbentuk oleh lingkungan yang membuat
saya ragu, apakah benar-benar akan terjadi sebuah Revolusi di lingkungan kampus
ini?
Kembali kemasa saya ketika masih semester dua, ada
pemilihan Ketua HIMA Sastra Inggris. Dan setelah pemilihan Ketua HIMA semua
seolah berlalu begitu saja, tanpa ada jejak yang berarti. Pemilihan seolah
hanya formalitas belaka. Setelah pemilihan selesai dan terpilih Ketua baru HIMA
Sastra Inggris semua urusan selesai. Tak ada tindak lanjut, bahkan saya sendiri
pun sebagai anggota HIMA Sastra Inggris tak mengetahui siapakah wakil ketua
HIMA, siapa saja yang masuk dalam struktur kepengurusan HIMA, apa saja program
kerja mereka selama setahun kedepan, dan lain sebagainya. Dan lagi-lagi hal
tersebut membuat saya mengambil sikap skeptis, dan keraguan terus menjalar di
otak saya.
Pengamatan yang saya lakukan selama ini, HIMA hanya akan
terdengar ketika penerimaan mahasiswa baru. HIMA baru akan bergerak jika akan
ada kegiatan Propti dan malam keakraban belaka. Selebihnya? Dapat ditebak
keberadaan HIMA bak hilang ditelan bumi. Jika mereka mengatakan bahwa mereka
terlalu sibuk dengan urusan perkuliahan dan tak sempat mengurusi HIMA. Maka,
untuk apa mereka mencalonkan diri sebagai pengurus HIMA? Jika mereka sudah
mengetahui konsekuensi apa yang akan mereka tanggung ketika menyanggupi suatu
amanah. Amanah adalah hal terberat di dunia ini, yang kelak akan dimintai
pertanggungjawabannya. Begitulah jika menurut ajaran Islam.
BEM dan HIMA yang begitu lama berhibernasi. Begitu lama
hidup dalam zona nyaman yang tak bertepi, hingga lupa bahwa mahasiswa
membutuhkan wadah untuk menyalurkan aspirasi mereka. Saya sering
berbincang-bincang dengan teman-teman saya di luar kampus mengenai kondisi
kampus masing-masing. Dan ternyata kami memiliki permasalahan yang sama; “Sikap
Apatis Mahasiswa!”
Saya sudah sering mendengar pernyataan nyinyir dari
beberapa orang, buat apa BEM dan HIMA? Lebih baik mengurusi perkuliahan dan
tugas-tugasnya. Alhasil, pola pikir inilah yang membuat mahasiswa tak maju.
Kegiatan perkuliahan hanya sekedar berkutat di kampus, rumah atau kostan dan
mall. Begitulah setiap harinya. Seolah menggali ilmu sudah cukup di kampus
saja. Ketika saya semester satu saya sempat kehilangan esensi saya sebagai
seorang mahasiswa yang seharusnya menjadi penerus bangsa, agent of change.
Hedonism dan konsumtif menjadi hari-hari yang memabukkan. Pelarian saya ketika
saya tak menemukan wadah untuk bekerja, melatih jiwa kepemimpinan. Dan hal
tersebut dapat saya gali di BEM, tapi nihil.
Beberapa hari yang lalu saya sempat berbincang dengan
salah satu teman saya. Dia seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Filsafat di
Universitas Gajah Mada. Dia mengatakan hal yang sama, bahwa BEM Fakultas Filsafat
di kampusnya pun mati suri. Saya pun sempat bertanya-tanya mengapa mati suri?
Dia mengatakan jika mahasiswa Filsafat di UGM tidak begitu tertarik dengan
kegiatan BEM kampus. Mereka lebih memilih melakukan kegiatan diluar dan
membentuk organisasi baru sebagai Pionir.
Saya tidak dapat menyamakan kasus BEM Fakultas Filsafat
UGM dengan BEM di kampus saya. Tentu tidak. Mahasiswa Filsafat UGM sadar bahwa
menggali ilmu tak terbatas oleh ruang lingkup kampus, maka dari itu mereka
melanglang buana mencari ilmu pengetahuan di luar. Sedangkan di kampus saya?
Nyeri hati jika mengingatnya, mungkin ini hanya pandangan subjektif saya
semata. Namun, saya sudah dua tahun menimba ilmu disana, merasakan atmosfer
yang tak mendukung hingga membuat saya sesak dan memilih untuk bernafas diluar.
Kurangnya kesadaran akan nilai-nilai juang kepemimpinan, pengabdian kepada
masyarakat, dan peka terhadap isu-isu di sekitar semakin membuat Apatis
mahasiswa. Semua serba konsumtif dan hedon, kegiatan hanya berkutat dengan apa
yang mereka jalani di kampus belaka.
Ketika BEM mati suri, saat itulah mahasiswa seperti
kehilangan jati diri. Mereka seperti tak memiliki kompas. Saya harus melakukan
apa? Sebagai seorang mahasiswa apa yang harus saya perjuangkan? Apakah hanya
sekedar IP yang besar dan lulus dengan predikat Cumlaude? Apaka hanya sekedar
hal-hal tersebut belaka? Belakangan saya semakin menyadari hibernasi yang
berkepanjangan di dalam BEM kampus, dikarenakan tidak adanya Pioner yang dengan
lantang dan semangat juang tinggi untuk membangunkan BEM dari mati surinya.
Saya lebih sedang menyebut tempat kuliah saya sekarang
sebagai tempat kursus. Dimana tak ada kehidupan mahasiswa yang sebenarnya,
dimana tak saya rasakan gairah mahasiswa yang menggebu-gebu pro rakyat, dan
dengan khusyuknya merancang apa yang selanjutnya mereka lakukan untuk kemajuan
bangsa. Mahasiswa yang sadar tugasnya mengabdikan diri sebagai stakeholder
bangsa ini.
Pers kampuspun mati suri. Lagi-lagi, semua serba mati
suri. Dan lagi-lagi saya termenung seorang diri, bukankah saya selama ini
kuliah di kampus yang memiliki jurusan sastra inggris. Namun, dimanakah pers
kampus sebagai salah satu sarana informasi mahasiswa. Dan lagi-lagi saya hanya
mampu menghela nafas panjang. Semuanya tak sesuai dengan ekspetasi ketika
pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini. Saya sempat membayangkan alangkah
beruntungnya mereka yang dapat menggeluti dunia BEM, Pers kampus yang
menggelora itu. Alangkah lebarnya pintu yang kampus berikan untuk kemajuan
mahasiswanya, alangkah dan alangkah lainnya. Angan-angan tersebut kini hanya
dapat saya tepis jauh-jauh. Mencoba realistis dan memahami bahwa semua yang
diinginkan dapat terwujud sesuai dengan apa yang diinginkan.
Meskipun kini, beberapa hari yang lalu akhirnya diadakan
pemilihan calon Ketua BEM. Saya tak begitu bersemangat. Kertas pemilihan saya
biarkan begitu saja, hanya sempat melirik sedikit kemudian saya lipat kembali
kertasnya dan langsung memberikan kepada mereka kembali. Tanpa ada satupun yang
saya coblos, saya tak memilih siapapun.
Revolusi dari hibernasi yang begitu panjangnya. Membuat
saya mengubur dalam-dalam, mengunci rapat-rapat angan akan kehidupan mahasiwa
yang sebenar-benarnya mahasiswa. Sekarang saya lebih memilih untuk mengambil
sikap skeptis, disisi lain saya tetap mendoakan yang terbaik demi kemajuan
peradaban mahasiswa. Tak seluruhnya saya berharap, hanya sedikit mengingat
pengalaman-pengalaman yang lalu yang mengecewakan.
Jika ada yang bertanya dengan saya mengapa saya tak ikut
mencalonkan diri sebagai calon Ketua BEM. Maka dengan lantang saya menjawab,
“Saya tak sesuai dengan atmosfer kampus ini. Saya lebih memilih keluar dari
tempurung dan mencari tempat lain untuk menimba ilmu dan dengan orang-orang
yang dapat memahami saya dengan segala pemikiran saya yang terkadang tak dapat
dipahami oleh orang lain”. Ketika Badan Eksekutif Mahasiswa mati suri, ketika itu
pula pola pikir mahasiswa tak akan pernah berubah. Open mind hanya bualan mimpi
indah di siang hari.
@echisianturi
Penulis Lepas
Januari basah, 8:46 PM
0 comments