Membunuh Malam~
March 06, 2015
Nafasnya
tersengal-sengal, keringat dingin mengucur dari pori-porinya. Matanya
membelalak, menerawang sekeliling. Menatap nanar pada kaca besar yang berada di
dalam kamarnya yang remang. Detak jam semakin membuatnya tergugu kaku, tak
bergeming. Masih dini hari, pukul dua pagi.
Dia menyeka keringatnya yang terus mengucur, tangannya
yang pucat gemetaran. Langkah tertatih dia menuju meja kecil, meneguk hingga
tandas air putih. Ditariknya nafas dalam, perlahan dia mulai kembali tenang.
Namun tak dipungkiri ketakutan masih terus membayanginya. Dia tidak akan dapat
tidur lagi malam ini.
Waktu terasa lambat bergulir, menit demi menit dia
rasanya begitu menyiksa. Matanya yang lelah, kantung mata yang nampak jelas di
antara wajah jelitanya. Sudah beberapa hari ini Prita tak tidur, lebih tepatnya
takut tidur. Wanita yang menginjak kepala dua itu terus gamang. Dia bingung,
dia khawatir, menunggu pagi sangat menyiksanya.
Prita berkutat dengan gadgetnya,
sesekali mengecek media sosialnya. Masih banyak yang belum tidur, masih ada
orang yang tak mampu memejamkan mata sama sepertinya. Apakah alasan mereka sama
karena tak dapat tidur. Mungkin tidak.
Dilemparnya gadget
bercasing ungu tersebut, terpental hingga kesudut springbednya. Dia mengeluh panjang, dia lelah. Prita ingin tidur,
hanya satu inginnya. “Aku hanya ingin memejamkan mata sejenak, tolong jangan
menghantuiku lagi”, dia mendesah pelan mencoba mengatasi rasa takutnya sendiri.
Kamar yang remang, cahaya bulan masuk diantara sekat-sekat
jendela kamarnya. Diluar begitu cerah, bulan purnama. Malam yang begitu cantik,
bulan purnama yang begitu sempurna memesona. Tetap saja terasa hambar oleh
Prita. Dia sudah tak dapat menikmati malam lagi kini. Hanya ada ketakutan yang
terpartir di otaknya.
“Aku tak peduli, aku ingin tidur!”, Prita berujar kesal.
Ditariknya selimut erat, matanya terpejam. Sesekali bibir mungilnya
bersenandung pelan, lagu nina bobo. Tak dipungkiri begitu susah, sangat susah
baginya untuk tenang memejamkan mata. Selalu saja seperti itu, berulang kali
terjadi. Hingga dia pun sendiri lupa, kapan dia mulai membenci malam dan tidur.
Dia ingin segera pagi datang, secepatnya jam berdetak menunjukkan pukul 6 pagi.
“Oh Tuhan, dapatkah aku membunuh malam? Aku takut”, Prita
terisak pelan dibalik selimut tebalnya. Dia menyeka kembali airmatanya yang
lagi-lagi luruh dipipi mulus nan putihnya. Wajah jelitanya semakin hari semakin
kuyuh, tak seperti beberapa minggu yang lalu sebelum dia ingin sekali membunuh
malam. Prita hanya ingin membunuh malam, itu saja.
“Aku hanya ingin tak ada malam hari, apakah hal tersebut
berlebihan”, Prita berkata pelan, sangat pelan bak desiran angin malam yang
halus.
“Mengapa manusia harus tidur? Mengapa manusia membutuhkan
tidur? Jika kelak manusia akan tidur untuk selamanya, mungkin pada pagi
harinya. Mungkin. Aku tak mau hal tersebut terjadi padaku pula”. Suaranya
parau, flu hebat melandanya. Kepalanya terasa berat memikirkan bagaimana
caranya membunuh malam.
“Membunuh malam ternyata tak semudah membunuh nyamuk
dengan sekali tebasan tangan”, Prita masih menceracau sendiri di kamar
remangnya. Udara semilir, dingin yang menusuk. Jam menunjukkan pukul 4 pagi,
ayam mulai bersahutan satu sama lainnya. Meski belum terlalu ramai. Prita
begitu gembira mendengar suara ayam berkokok.
“Suara ayam berkokok, berarti sudah hampir pagi. Betapa
leganya aku”, dari intonasi kalimatnya, Prita begitu lega. Senyum tersungging
manis di wajahnya, wajah kuyuh dengan lingkaran mata yang menghitam.
“Kurir kematian bak berada di samping, persis di sebelah
tempat tidur. Tak ingin tidur, takut kematian. Semua menjalar di sekujur tubuh,
memberikan peringatan kepada otak. Mata, jangan sampai mengantuk. Tahan, tahan
jangan sampai tertidur. Aku ingin sekali membunuh malam”, Prita kembali ketakutan,
dia tersudut di pinggir kamar.
Prita menangis sejadinya, memori usang kembali terkuak ke
permukaan. Nafasnya memburu, mulutnya menceracau tak jelas. Airmata dengan
mudah keluar dari sepasang bola matanya yang berwarna coklat. Mengalir di pipinya,
jatuh di di lantai bermarmer hijau lumut. Dapat dia rasakan airmatanya yang
asin.
“Firasat yang datang benar-benar tak bersahabat. Ketika
ingin terlelap, terbuai mimpi. Firasat kematian sekelebat menghampiri kembali.
Bagaimana jika esok tak kutemui lagi mentari, bagaimana jika esok yang kudengar
lagi suara ayam, bagaimana jika esok hari aku tak dapat menghirup udara segar”.
Tangisnya semakin menjadi, bayangan kematian, dan malam seolah mengejarnya.
Prita ingin membunuh malam, prita tak ingin terlelap. Dia takut kematian.
“Kurir kematian laksana alarm yang mengingatkanku. Bahwa
kematian memang begitu nyata. Kematian hal yang paling pasti di dunia ini.
Kematian lebih dekat daripada urat nadi, lebih dekat, sangat dekat. Hingga tak
mampu diterka, kapan. Semalam, Aku tak ingin tertidur, benar-benar takut dengan
tidur”.
Detik jam semakin melambat, Prita masih setia menanti
pagi. Antara khawatir, antara harap cemas. Dia hanya ingin memenangkan atas
malam, dia lebih memilih pagi. Dimana tak ada gelap, dimana tak ada tidur. Dia
tak ingin terlelap meski sangat lelah, dia tak ingin tidur. Dan jam pun
menunjukkan pukul enam pagi.
***
@echisianturi
Bandarlampung.
0 comments