Monolog Kemanusiaan
September 15, 2015
Bulan merah menggantung pogah di
langit, cahaya temaramnya terseok-seok menerangi sudut-sudut gang yang bau
pesing. Orang-orang menerawang jauh ke atas, memandangi malam yang tak secuil
pun bintang bertamu. Kembali bersua dengan sepi, kegamangan demi kegamangan. Rokok
di tangan kiri, pisau di tangan kanan. Layaknya sepasang senjata yang
mematikan, untuk perlawanan terhadap ketidakadilan.
Manusia-manusia,
bermilyar yang hidup di dunia ini. Melenggak-lenggokan kaki mereka
ketempat-tempat yang menjanjikan gemerlap hedonism. Secuil rasa iba pada mereka
yang tertahan di batas Negara dengan paras wajah lelah, dengan kaki yang mulai
gemetaran, dengan bibir yang tak henti mengalunkan doa, secuil rasa iba mungkin
sudah menjadi hal yang langka.
Tak
ada yang aku inginkan selain melihat manusia, iya manusia yang saling
memanusiakan. Banyak manusia yang kulihat namun tak semua memiliki rasa
kemanusiaan. Sisa-sisa nasi yang dikais dari tong sampah yang berbau anyir,
rasanya sungguh nikmat di lidah. Air kotor melegakan kerongkongan ketimbang
harus menahan dahaga selama berhari-hari. Dan kuku-kuku tangan yang menghitam
tetap berusaha berjuang dalam keterpurukan kisah dunia.
Ketika
bulan bersua bersama dengan angin malam yang menusuk hingga ke tulang rusuk. Tak
ada yang mampu dilakukan, selain mendekap erat satu sama lainnya. Tak dihiraukan
lagi bau keringat yang membaur, tak dihiraukan lagi pakaian yang berubah yang
kecoklatan penuh dengan sisa-sisa tanah, debu, sampah. Dingin malam yang kuat, menjadi
saksi bisu bahwa tak selamanya malam membawa ketenangan didalam jiwa.
Orang-orang
yang mereka sebut gelandangan meneguk air liur menatap kagum pada kehidupan
yang serba mewah. Makanan yang bergizi, pakaian yang bagus, rumah yang nyaman,
kehidupan yang layak. Tinta takdir memang tlah dituliskan dan kering, maka
bersabarlah pada nikmat luar biasa yang sesungguhnya Tuhan selipkan diam-diam
dalam perjuangan siang dan malam menghargai nasib.
Monolog
kemanusiaan, tentang mereka juga tentang aku. Tentang semua yang
mengatasnamakan diri mereka sebagai seorang manusia. Entahlah, manusia mana
yang sebenarnya manusia. Apakah aku manusia yang sejatinya? Ataukah kamu?
Lagi-lagi malam menyimpan misteri yang lambat laun terkubur zaman. Malam masih
bersama dengan sorot temaram rembulan menyusuri gang-gang bau pesing dimana
manusia hebat terus bergulat bersama takdir, menempa kehidupanNya.
Malam ini terlalu kaku, malam ini terlalu sendu untuk menguraikan segala piluh. Bermonolog tentang manusia membuat pija-pijar naluriku semakin menguat. Kudekap saja gurat gelisah pada butiran-butiran embun, hingga esok harinya mengabur. Kemudian terlupakan perlahan.
I see human, but not
humanity
I see human, but not
humanity
I see human, but not
humanity
@echisianturi
Bersama secangkir coklat panas yang pekat
0 comments