Dialog Sang Idealist

November 01, 2015

"Sampai kapan kamu tetap menjadi seorang idealist? Sampai kamu kelaparan dan meminta-minta dipinggir jalan?", sepintas raut wajah pogah terpancar dari kejauhan. Suara menggema dimana-mana, mempertanyakan idealisme seseorang. Tiang-tiang langit yang menyanggah bumi tak perlu menjelaskan bagaimana ia tetap kokoh. Hingga tak satu pun manusia dapat menebak berapa waktu yang ia habiskan dengan kesetiaannya.

"Mungkin sampai tiang-tiang langit runtuh", lelaki yang ditanya tersenyum tipis. Tidak terlintas gurat kekesalan di bias wajahnya. Matanya memandang takzim awan yang berarakan pelan, menyusuri tiap senti batas dunia dan angkasa padu.

"Aku heran dengan koloni manusia yang menjunjung tinggi idelisme mereka. Mereka dapat makan apa dari idelisme?", laki-laki berperawakan sedang itu masih mempertanyai temannya yang duduk tenang sembari menyeruput kopi hitamnya dalam.

"Apakah hidup hanya berpusat pada masalah perut?", ujarnya menatap teduh wajah lelaki yang tetap tak mau mengalah tersebut.

"Tentu saja, kau akan mati jika tak berpikir tentang perut. Masalah perut adalah masalah krusial manusia, hal yang harus diutamakan", jelas lelaki itu berapi-api.

Lelaki teduh masih dengan tenang menatap layar laptopnya, sembari jemarinya melincah diatas keyboard.  "Jika masalah perut dapat mematikan ragaku. Maka mengabaikan idelismeku dapat mematikan jiwaku. Bukankah jiwa adalah pusat dari segalanya? Lebih krusial mana sekarang?", lelaki teduh itu berujar pelan. Namun, mematikan seketika sendi-sendi percaya diri lelaki pogah.

"Kau mencoba menggertakku dengan pernyataan itu?"

"Tidak, aku sama sekali tidak memiliki niat untuk menggertakmu kawan. Semua kembali lagi kepadamu, apakah kau termasuk koloni manusia terhormat atau tidak", ungkap lelaki bermata teduh. 

Tetiba hujan datang mengguyur dengan hebatnya. Lelaki bermata teduh keluar sembari menengadahkan tangannya kelangit. Menghirup aroma hujan yang bercampur dengan aroma tanah basah. 

"Karena manusia pada hakikatnya ditakdirkan hanya untuk singgah di selter yang kita kenal sebagai kehidupan. Apakah kau paham mengapa Tuhan menganugerahi manusia dengan kecerdasan otak diatas rata-rata? Karena Tuhan tak ingin manusia hanya berkutat terhadap masalah perut semata. Masalah krusial yang kau sebut-sebut tadi", jelasnya. Awan semakin pekat, menurunkan rintik-rintik kuasaNya melalui nikmat dari langit.

"Aku pun tak memiliki alasan khusus mengapa manusia harus mempunyai idealisme. Inilah jalanku, itu saja. Biarkan tetap pada jalurnya, karena aku lebih memilih menjadi manusia terhormat dengan idealisme yang kugenggam erat". Hujan tetap setia mengguyur kota di sore itu. Asap kopi mengabur bersama angin dingin sore hari, semakin mengabur dipersimpangan. Katakanlah saja pada dunia, ini idealismeku.

Echi Sianturi
Bandarlampung, 1 November 2015

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Total Pageviews

Translate