Ruang Rindu Masa Lalu
November 30, 2015
Denada diam-diam
terus mencuri pandang dengan lelaki yang tengah duduk disampingnya. Perjalanan
pulang kali ini rasanya lebih menyenangkan karena kehadirannya lelaki itu disampingnya,
lelaki yang dia sebut sebagai cinta pertamanya. Debar rasa masih sama seperti
dua tahun yang lalu. Dia pun tak menyangka jika jantungnya masih berdegub
kencang, keringat dingin mengucur dari pori-porinya, dan sesekali dia sengaja
mengalihkan pandangan keluar jendela.
Sejak pagi
bahkan beberapa hari yang lalu, Denada sudah menunggu-nunggu hari ini. Dimana
dia dapat berjumpa kembali dengan lelaki yang diam-diam masih membayangi
pikirannya. Waktu yang telah terurai lama dan jarak yang panjang terbentang tak
membuat rasanya berubah. Walau kini tak sekuat dahulu. Diamatinya lelaki itu,
Afri. Afri masih sama seperti dua tahun yang lalu, saat dia pergi merantau
meninggalkan Denada. Denada hanya mampu menangis dan menatap punggungnya dari
belakang. Perpisahan yang tak akan pernah dia lupakan, tangis yang begitu
membuncah. Untuk pertama kali dia merasakan kehilangan, hampa dan kosong.
“Gimana kuliahmu
Den?”, sapa Afri setelah beberapa lama keheningan menyergap mereka berdua.
Menyadari kekakuan diantara mereka, Denada pun mencoba mencairkan suasana. Dia
bercerita tentang aktivitasnya di kampus, sesekali pandangan mereka beradu. Dan
Denada pun dengan cepat menghindari pandangan Afri. Matanya membuat Denada
semakin tergugu dibuatnya, dia tak kuasa menatap dalam mata milik Afri yang
seolah menyihir hatinya yang kosong.
“Yaah, baik-baik
saja Afri. Aku mau segera menyelesaikannya dan hengkang dari kota ini hehee”,
Denada tersenyum simpul. Dia teringat Yogyakarta, kota yang selalu dia rindukan
sejak dulu. Dia ingin selalu kembali kesana, kota yang menyimpan sejuta keeksotisan
budaya.
Bagaimana jika
cinta pertama memanggil kembali?. Ungkap Denada dalam hati, digigitnya bibir
pelan. Dia tak mampu membohongi rasa, lelaki itu yang dulu selalu dia
tunggu-tunggu kini kembali hadir disampingnya. Bukankah itu sebuah takdir? Atau
hanya suatu kebetulan semata?. Ahh, di dunia ini tak ada yang kebetulan, semua
kisah sudah ditetapkan.
“Kamu
kelihatannya semakin gemuk yah Af hahaa”, Denada melirik pelan tubuh Afri
disampingnya. Lelaki itu hanya tertawa dan tersenyum simpul, “Berarti aku
kerasan Den di Jogja”, timpal Afri sembari melahap roti yang dia beli dari
Bandara Soekarno Hatta tadi. Mereka berdua dengan khusyuk melahap roti dengan
cepat. Sudah saatnya jam makan siang, namun mereka masih berada di dalam bus.
Sekitar dua jam lagi untuk sampai di kota kelahirannya mereka.
Afri, dia sudah
jauh lebih dewasa ketimbang dua tahun yang lalu. Kumis tipis mulai tumbuh di
wajahnya, namun sifat Afri yang aneh masih tetap melekat dalam dirinya. Lelaki
yang menyukai hal-hal aneh, dia anti mainstream.
Yah, bisa dibilang begitu. Percakapan mereka di Bus berlangsung dengan seru.
Mereka berbincang apapun, mulai dari Filsafat, Sastra, Kebudayaan, Buku-buku
sampai tentang kisah-kisah lucu ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah
Atas.
“Ayoo Den, kamu
buat buku solo biar aku bisa resensi untuk percobaan. Atau kamu kirim
tulisan-tulisanmu ke Koran. Aku sarankan kamu menjadi penulis anak saja, kan
masih jarang penulis anak”.
“Iya Af, aku
sedang menyusun sebuah novel doakan saja bisa cepat dirilis tahun ini. Aku
sudah mencoba mengirim cerpen kebeberapa koran namun belum ada tanggapan”.
“Terus mencoba
Den, aku saja harus mengirim opini sampai empat kali ke Kompas baru naskahku
diterima”, mendengar ucapan Afri, Denada langsung terkejut. Afri opininya
tembus Kompas? Luar biasa, yang dia tahu menembus Kompas itu sulit, sangat
sulit. Aku sepertinya sudah tertinggal jauh dengan Afri, desah Denada pelan.
Semua berjalan
sesuai dengan apa yang Denada inginkan, syukurlah. Meskipun dia sempat panik
karena susah sekali menghubungi Afri karena provider
yang bermasalah. Namun kini kekesalannya terbayar sudah. Ada Afri disampingnya,
mereka duduk bersama berbincang tentang apapun yang mereka sukai. Berbagi
cerita, hal yang sudah lama tak mereka lakukan.
“Tak ada yang
berubah dari kota kita yah Den?”
“Hmm, aku rasa
hanya patungnya saja yang berubah. Ada patung baru di daerah Kelapa Tujuh”.
Mereka tertawa bersama, sudah dua tahun berlalu dan tak ada perubahan berarti
yang terjadi di kota mereka. Dan tak ada perubahan rasa di dalam hati Denada.
Meski dia tak tahu apakah Afri masih memendam hal yang sama dengannya? Atau
bahkan Afri sudah lupa sama sekali dengan kisah mereka dahulu.
Afri merogoh tas
ranselnya, dia mengeluarkan sebuah buku. Buku Pramoedya Ananta Toer “Bukan
Pasar Malam”, Afri sambil tersenyum memberikan buku itu kepada Denada. “Ini
buku untukmu Den, oleh-oleh dari Jogja. Ini buku Pramoedya Ananta Toer yang
paling aku suka setelah Tetralogi Bumi Manusia”.
“Waah, terima
kasih”, Denada dengan riang mengambil buku dari Afri. Tangan mungilnya dengan
cekatan membolak-balik buku yang baru saja Afri berikan. Matanya tertuju pada
halaman kedua buku tersebut, ada sebuah tulisan tangan Afri. Tulisan dokter,
begitu Denada sering mengatakannya dengan Afri. Butuh usaha untuk membaca
tulisan tangan Afri yang memang sangat mirip dengan tulisan dokter.
Ini salah satu bacaan terbaik sebelum tidur.
“Pulanglah. Karena pulang membuat terus
Rindu”
Judul yang bagus untuk buku malam hariku.
Boleh untuk sekedar membaca dan memilikinya.
Karena pulang secara praktis hendaknya dipahami sebagai keharusan memulai
hidup
Afri
Denada tersenyum
membacanya. Afri masih sama, dia selalu tahu bahwa bukulah yang paling Denada
sukai. “Bacanya di malam hari aja Den lebih asyik”, saran Afri tersenyum, dan
lagi-lagi senyumannya membuat jantung Denada berdegub kencang. Semoga dia tak
mendengar detak jantungku yang begitu kencang, ini memalukan. Umpat Denada
dalam hati.
Ruang rindu yang
sudah sejak lama ada, kini seolah menemukan muaranya kembali. Rindu yang
tercipta karena rasa yang kuat, rindu yang tercipta karena kisah yang manis.
Dan rindu telah pulang, mengisi ruang yang telah dibiarkan kosong sedari dulu.
Meski hanya singgah sementara namun sudah mampu mengobati sedikit percikan-percikan
didalam hati yang ingin berjumpa.
“Kamu kapan mau
kembali ke Jogja lagi Afri?, Tanya Denada.
“Aku mungkin
akan lama di Lampung Den, aku mau menggarap skripsi di rumah saja. Sembari
membaca buku-buku.” Timpal Afri.
Memasuki waktu
senja, mereka belum sampai di tempat tujuan. Senja kali ini lebih manis dari
biasanya. Denada selalu menyukai senja, warnanya, suasananya seolah
membangkitkan rasa khusus. Mendayu dalam dimensi waktu yang lain. Denada ingin
waktunya berhenti sejenak saja, menikmati senja dari jendela bus bersama Afri.
Hal yang mungkin tak dapat dengan mudah dia lakukan lagi. Dia tak tahu kapan
mereka akan berjumpa kembali, kemudia tertawa lepas sembari membagi cerita
bersama.
Bagaimana jika cinta pertama
memanggil kembali?
Denada masih
diliputi kebimbangan akan rasa, akan hati. Ruang rindu masa lalu masih menyekapnya erat,
hatinya masih tertawan dengan Afri. Afri yang membuatnya bekerja keras terus
menulis hingga akhirnya dia dapat menerbitkan sebuah buku. Sebuah kisah
sederhana nan manis, buku pertama teruntuk cinta pertama.
Entahlah, Denada
hanya dapat berserah kepada waktu. Menanti apakah rasanya akan memudar atau
semakin kuat. Cinta pertama, orang-orang kerap mengatakan cinta yang tak mudah
untuk dilupakan. Hal-hal pertama yang istimewa, orang pertama yang istimewa
yang sanggup menawan hatinya. Menelisik hingga jauh kedalan setiap inci
hatinya. Ruang rindu masa lalu, cinta pertama. Afri. Dan senjapun tersenyum
bersama warna jingganya.
Echi
Sianturi
Kotabumi,
10 Januari 2015.
2 comments