Mendekap Kematian
March 15, 2016
“Apa kamu resah dengan kematian?”,
pertanyaan rumit keluar dari bibirnya yang keluh. Butiran-butiran keringat
sebesar biji jagung meluncur dari pori-pori wajahnya yang pucat pasi. Genap
seminggu ia tak mampu beranjak dari tempat tidurnya. Matanya hanya mampu
memandangi sekawanan awan yang beriringan pelan menyusuri langit. Ia seperti
terkunci mati dengan pertanyaan yang ia lontarkan sendiri, langit-langit
mulutnya semakin terasa keluh. Memilih diam dan tak mengucapkan sepatah kata
pun, itu jalan keluar yang paling bijak pikirnya.
Lelaki berumur sekitar dua puluh
empat tahun itu seolah ingin menyibak tirai hitam yang masih membayangi
pikirannya. Sakit yang menghampirinya, mengajaknya bercanda dengan hidup makin
memperkuat intuisinya tentang kematian. “Aku resah namun juga rindu”, ungkapnya
setelah beberapa saat bungkam. Kedua bola mata besarnya menatap dalam lelaki yang
duduk terdiam di kursi kecil kamarnya, mencermati setiap kata yang keluar dari
bibir mungilnya.
“Rindu seperti apa yang kamu
maksud, kawan?”, temannya bertanya pelan, masih diliputi kebingungan dengan
arah pembicaraan yang tak biasa itu.
Ia menghela nafas panjang,
sembari menghirup udara segar yang masuk dari sela-sela ventilasi kamarnya. “Rindu,
sangat rindu. Seperti ingin segera mendekapnya, begitu erat”, Ryan nama lelaki
itu berujar pelan sangat pelan, tak kuasa membuat pagi yang tenang menjadi
kisruh dengan ucapannya.
“Aku tak paham kemana arah
pembicaraan ini Ryan”, timbal temannya kebingunan. Hari masih terlalu pagi
untuk membicarakan hal yang terlalu rumit, pikirnya. Ryan tetap termenung,
menarik selimutnya erat. Hari terlalu pagi, udara masih dingin dan menusuk
kulit.
“Kemarilah, mendekat dan duduk
disampingku Tedy”, panggil Ryan pelan. Tedy beranjak dari kursi kecilnya,
kemudian duduk disamping teman sepermainannya itu. Teman kecilnya yang kini
hanya mampu tertidur tak berdaya di kamar kecil dan dipenuhi dengan tumpukan
buku. Tubuh Ryan terlalu ringkih untuk sekedar berjalan, menghirup udara pagi
yang segar dari balkon kamarnya.
“Ingatkah kamu rasa rindu? Ingatkah
kamu bagaimana kamu rindu yang hebat hingga kamu ingin segera mendekapnya?”,
tanya Ryan kembali.
“Pernah, tentu saja aku rindu
ketika berbulan-bulan tak bersua dengan Lita. Tentu saja aku rindu karena aku
mencintainya”, tanggap Tedy cepat. Ryan terdiam, seolah tak puas dengan jawaban
yang ia dapatkan dari bibir Ryan.
“Bukan jawaban itu yang hendak
aku dengar, bung. Jawabannya terlalu klise”, tambah Ryan.
“Pertanyaanmu yang justru terlalu
klise, kawan”, sambar Tedy. Tangan kekarnya mengambil kopi yang mulai dingin. Asap
kopi tak lagi mengepul, kopi dingin di pagi hari yang sendu.
“Rindu yang aku maksud adalah
kematian”, ujar Ryan pelan. Seketika Tedy menghentikan meneguk kopi dinginnya. Ia
terbatuk-batuk mendengar ucapan yang
terlontar begitu tenang dari lelaki bujang itu. Punggung tangannya mengusap
bekas kopi yang ada di wajahnya. Ia mengerutkan dahinya.
“Jangan berbicara seolah kamu
tahu apa itu kematian kawan. Kematian itu sama seperti kopi di pagi hari ini
yang mulai mendingin”, Tedy menyodorkan kopinya yang tinggal setengah, “kopi
yang sudah dingin rasanya tak nikmat, begitu pun dengan kematian”, tambahnya.
“Kamu salah bung, kematian itu
sesuatu yang sangat nikmat hingga aku kini sangat merindukannya. Mendekap kematian
dengan hangat, aku selalu memimpikan hal itu”, kata Ryan tersenyum manis. Wajahnya
semakin pucat pasi, tubuhnya yang kurus membuat tulang pipinya terlihat jelas.
“Kamu perlu istirahat Ryan, aku
akan pergi. Kamu jangan membicarakan hal yang aneh dan janggal di pagi buta
begini”, teriak Tedy setengah tertahan. Kakinya melangkah meninggalkan kamar
Ryan, namun langkah tertahan oleh isak tangis Ryan yang semakin menjadi.
“Aku rindu, benar-benar rindu
kawan. Andai kamu tahu bagaimana rasanya rindu ini. Salahkah bila aku
merindukan untuk segera bertemu dengan penciptaku? Aku hanya ingin seperti kaum
Sufi yang sering kubaca disela-sela waktu menunggu bus. Menjadi kaum yang rindu
dengan penciptaNya”, isak tangis Ryan semakin menjadi. Tedy berhenti di depan
pintu, giginya mengeluarkan gemerutuk pelan.
“Sakit yang membuatmu begini kah,
kawan”, tanya Tedy tertunduk lesu sembari memandangi sepatu kulit yang dia beli langsung
dari Amerika.
“Tak harus sakit dahulu agar
merindu, bukan? Merindu untuk mendekap kematian dengan nikmat”, ujar Ryan. Nafasnya
tersenggal-senggal, matanya tetap menatap Tedy dari tempat tidurnya. Pandangannya
semakin mengabur, semua terasa abu-abu. Kopi di pagi hari yang telah dingin,
masih terisisa setengah gelas. Terdiam mematung di meja, jadi saksi bisu pagi
yang janggal tentang rindu.
@echisianturi
Bandar Lampung, Hujan menuju
tengah malam.
0 comments