Sepotong Senja di Langit Tanjungkarang
June 03, 2016
(Sumber gambar: https://indonesiabersepeda.files.wordpress.com/2013/05/sepeda-senja.jpg)
Mentari
terlihat muram durja di barat kota Tanjungkarang. Membuatku sedikit berangsur
menjauh dari pandangannya. Beranjak dari trotoar jalan, duduk di pojokan taman kota
yang lenggang. Suara daun gemerisik pelan, memainkan irama alam yang membawaku
pergi sejenak dari penatnya masalah dunia yang tak ada habisnya.
***
Kukayuh
sepedaku menyusuri jalan Z.A Pagaralam yang kini sudah tak ramah lagi. Kawasan pendidikan
dipenuhi deretan tempat hiburan, mall yang berdiri megah, tempat karaoke yang
selalu penuh sesak oleh para pengunjung. Aku berhenti disisi kanan jalan,
meneguk air mineral yang kubawa dari kostan. Menatap tajam kepada sepotong
senja di langit Tanjungkarang yang muram.
Ada
luka yang kutangkap lagi-lagi pada senja hari ini. Aku terdiam lama kemudian
kembali mengayuh sepedaku ke tempat yang entah aku pun tak tahu akan kemana. Kubiarkan
saja laju sepedaku terus berlari membelah jalanan kota Tanjungkarang yang padat
merayap.
Mataku
menangkap sosok pedagang buah keliling dengan kaki pincang terseok-seok
mendorong gerobaknya. Pedagang yang selalu aku temui ketika pergi ke kampus. Kakinya
yang acapkali tak menggunakan alas kaki, rambutnya yang mulai memutih, dan raut
muka yang sudah lelah. Aku terkadang membeli minuman dingin darinya meskipun
aku membawa minum dari kostan. Tak ada hal khusus, hanya ingin melihat
senyumnya ketika ada seorang yang membeli dagangannya.
“Sepotong
kisah di Tanjungkarang yang penuh dengan makna. Akan kukayuh sepedaku hingga
jarak terjauh”, senandungku dalam hati. Jilbab hitamku menari dimainkan oleh
angin sore yang telah terkontaminasi dengan asap kendaraan yang lalu-lalang. Melihat
kota yang telah aku diami selama empat tahun terakhir, menjalani banyak kisah.
“Apa
yang paling aku harapkan dari sebuah kota bernama Tanjungkarang? Selain tetap
ramah kepada diri-diri yang merindu kedamaian”, desahku. Mataku tetap tertuju
kepada sosok seorang pria yang tengah memainkan biolanya dengan begitu syahdu.
“Seperti
kedamaian ketika mendengar alunan musik klasik ini”, aku mencoba menutup kedua
mataku. Merasakan alunan musik yang dimainkan violist muda itu, seolah membawa kepada dimensi lain. Dimensi yang
hanya menawarkan kedamaian saja tanpa kebisingan dunia yang semakin carut
marut.
“Lagu
yang memang sangat meneduhkan, Yiruma seorang memang komposer yang handal”,
ungkapku kembali masih dengan nuansa musik yang melenakan. Pemain biola itu
menyudahi permainannya dengan diiringi tepuk tangan, lelaki muda itu perlahan
mendekatiku.
“Kiss the rain memang lagu terbaik
Yiruma, bukan?”, tanyaku. Pemain biola itu hanya tersenyum kemudian duduk di
sampingku, meneguk lemon tea hangatnya
yang mulai dingin.
“Lemon tea hangat yang sudah mulai dingin
memang tak senikmat ketika hangat”, ujarnya sedikit kesal. Aku tertawa kecil
melihat gurat wajahnya yang tetap sama, dingin. “Seperti hidup yang tanpa
masalah yah, tak ada seninya”, tambahku.
Aku
mengambil biolanya, mencoba memainkan lagu River
Flows in You milik Yiruma dan sukses gagal. Aku tersenyum lebar,
mengembalikan kembali biola miliknya seraya berkata, “Lain kali mainkan lagu
itu untukku yah”.
“Aku
tak mau berjanji”, ungkapnya pelan. Tangannya dengan lincah mengambil biola dan
memainkan satu lagu yang aku tak tahu judulnya. Aku terdiam menatap sepotong
senja di langit Tanjungkarang yang masih muram. Aku menarik nafas dalam, kulangkahkan
kaki dengan gontai menjauhi pemain biola yang tengah asyik dengan lemon tea-nya.
“Kamu
mau kemana?”, tanyanya menghentikan langkahku.
“Aku
ingin mengayuh sepeda lagi”, jawabku singkat.
“Kemana?”,
tanyanya kembali.
“Entahlah.
Mungkin saja ketempat di mana aku dapat melihat sepotong senja yang berbeda di
langit Tanjungkarang ini”, tandasku.
“Tak
perlu jauh-jauh, bukankah disini kamu juga dapat melihat senja?”, ujarnya cepat
seolah ingin menghakimiku. Buat apa jauh-jauh hanya untuk melihat senja.
“Senja
yang kulihat dari sini begitu melankolis, aku tak tahu mengapa seperti itu
terjadi berulang kali”, aku tertunduk sedih. Sepotong senja yang kuharap ceria
tak jua menunjukkan batang hidungnya.
Aku
kembali melangkahkan kakiku kali ini lebih cepat, menuju tempat aku menitipkan
sepeda biru kesayanganku. Berharap pemain biola tak menanyaiku lagi tentang
sepotong senja yang kuharapkan hadir hari ini.
Langit
semakin pekat, burung-burung terbang bergerombol menikmati sore yang hangat. Aku
tetap mengayuh sepedaku, ketempat di mana aku dapat menemui sepotong senja di
langit Tanjungkarang yang sering hadir dalam mimpi malamku. Sepotong senja di
langit Tanjungkarang yang kuharap mampu menemani kegundahanku akan dunia.
@echisianturi
Creamy
latte with River Flows in You by Yiruma
0 comments