Kunang-kunang; Apakah Tuhan Kita Sama?

August 01, 2016


Pagi masih terlalu muda. 

Kulihat puluhan serangga terang yang terbang rendah di sepanjang kebun bunga. Aku memegang erat toples bening pemberian ayah sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya minggu lalu. Ayah pernah menceritakan padaku sebuah kisah tentang "si terang" yang akan berdatangan ketika malam tiba. Si terang yang disebut-sebut ayah dalam ceritanya membangkitkan rasa penasaranku, hingga aku tetap terjaga sampai pagi yang terlalu pagi.

Aku akan berburu kunang-kunang kali ini. Pemburu kunang-kunang dengan wadahnya yang bercahaya, tidak akan mampu aku menangkap semua makhluk kecil di kebun. Biarlah, meski hanya satu atau dua kunang-kunang yang menerangkan wadah ku. Kelopak-kelopak bunga menjadi lebih bercahaya ketika segerombolan makhluk kecil hingga di antara kelopak yang mulai mekar. Manusia tidak mungkin jatuh cinta terhadap kunang-kunang, namun aku melakukannya.

Tuhan, mengapa Engkau membedakan kami dengan ruh dan daging? Aku bertanya sembari menatap tajam pada wadah yang cahayanya mulai redup. Satu demi satu si terang mulai kehilangan dayanya, tak mampu lagi terbang dan jatuh di dalam wadah bening milikku. Ketidakberdayaannya membuatku semakin geram, mengapa hanya segitu saja dayamu wahai kunang-kunang?

Hembusan angin yang berbisik kepadaku seolah menyampaikan pesan dari langit. Kegelisahanku dan ketakutanku akan malam, tanpa kunang-kunang lagi. Dapatkah kau menerka isi kepalaku saat ini, kunang-kunang yang kucintai semakin tak mengerti. Atau mungkin memang tak mengerti, kepakkan sayap yang semakin melemah di dalam wadah kaca kemudian redup dan hilang.

Hai, makhluk kecil yang tlah redup. Apakah Tuhan Kita Sama? Jika Tuhan kita sama mengapa kita masih menaruh curiga satu dengan yang lain. Aku pemburu kunang-kunang yang tak berniat menghilangkan cahayamu, dan mencoba membaca pesan-pesan melalui angin yang berbisik pelan tepat di gendang telingaku.

@echisianturi

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Total Pageviews

Translate