Bersyukur, Maka Hatimu Akan Damai

February 08, 2017


Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul setengah tiga pagi, tepat ketika aku mulai menulis kali ini. Tulisan yang bukan berupa cerita pendek, puisi romantis atau pun artikel tentang keadaan politik Indonesia yang carut-marut. Tulisan yang datang dari hati sebagai refleksi diri untuk menjadi manusia yang mampu memanusiakan manusia kedepannya. Pagi yang masih muda memang waktu yang tepat bagi diri untuk berdamai sejenak dengan kehidupan.


Aku teringat dengan pengalaman akhir tahun 2016, ketika menjadi surveyor PMKS-T (Penyandang Masalah Kesejateraan Sosial) Kementrian Sosial RI. Waktu dua bulan yang membuka mataku lebih lebar dan mengetuk hati nuraniku. Selama kurun waktu dua bulan setiap malam aku dan teman-teman menyisir kota Bandar Lampung untuk mencari para tunawisma alias mereka yang belum memiliki tempat tinggal tetap. Seperti gelandangan, pengemis, pemulung, penarik becak dan lainnya.


Apa yang aku dapatkan lebih dari sekedar pengalaman berharga, namun sebagai bentuk refleksi kepada diri sendiri agar bersyukur tak ada habisnya. Melihat mereka ketika malam yang larut telah tiba, mereka hanya mampu merebahkan diri di tempat-tempat yang tak layak, seperti emperan toko maupun trotoar jalan. Tidur dengan keadaan perut yang keroncongan dengan baju yang lusuh dan kotor. Mendapati kenyataan miris yang tepat di hadapanku, aku hanya mampu bergumam sendiri dalam hati. "Apa yang dapat aku lakukan untuk mereka agar memiliki kehidupan yang lebih baik?".
Kita semua mempunyai jalan kehidupan yang berbeda-beda sesuai garis tanganNya. Tinta takdir yang telah dituliskan dan kering. Bersyukur dan menerima adalah jalan paling bijaksana agar hati dapat berdamai dengan kehidupan. Namun, hal itu tak mudah. Memang benar. Para tunawisma yang aku dan teman-teman jumpai terkadang mengeluh dengan kehidupan mereka yang sukar. Sulitnya bertahan hidup meski hanya mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Hidup yang penuh dengan perjuangan, hidup yang mempertaruhkan keberanian dan keyakinan jika semua akan terbayar nantinya.

Sama seperti manusia biasa yang acapkali berkeluh kesah akan masalah yang menimpa, atau hal-hal diluar prediksi yang tak diinginkan. Ditengah gempuran hidup yang sukar, aku masih menemukan bening harapan di mata mereka. Harapan agar suatu hari ini, setidaknya mereka bisa makan teratur, atau tidak tidur di pinggiran jalan lagi sehingga ketika hujan mereka tak harus meringguk kedinginan. Harapan yang sangat sederhana jika kita bandingkan dengan harapan-harapan yang kita miliki. Harapan untuk memiliki rumah mewah, mobil terbaru, uang yang berlimpah. Sungguh, aku belajar kesederhanaan, kesahajaan dari setiap orang yang aku temui setiap malam di jalan selama dua bulan.

Ketika para gelandangan, pengemis, penarik becak terus melangkah maju terkadang kita yang keadaan yang lebih mampu tetap tak tahu bagaimana caranya bersyukur. Hati menjadi tak damai karena ada saja hal yang dikeluhkan meskipun kita sudah dalam keadaan yang nyaman. Lagi-lagi,kodrat manusia memang selalu tak pernah puas. Tidur di tempat yang hangat, makan teratur tiga kali sehari, badan sehat bugar, setiap bangun pagi di sambut oleh hangatnya pancaran sinar matahari. Semua itu terkadang tetap membuat tak mampu bersyukur, selalu kurang dan kurang. Di tempat lain, ada saja seseorang yang mungkin ingin menjadi diri kita dengan apa yang kita miliki saat ini. Jadi, bukan saatnya lagi untuk mengeluh dan menyerah kepada keadaan.

Aku kini mungkin sedang dalam keadaan yang tidak begitu baik, merantau, jauh dari orang tua, rumah, teman-teman. Setiap aku membandingkan diri dengan mereka yang kurang beruntung aku pun merasa malu kepada diri sendiri. Kesulitan yang aku hadapi sekaran belum ada apa-apanya. Ahh, iya. Itu hanya segelintir saja, ibarat ombak itu hanyalah deburan ombak kecil yang membasahi celanaku. Bukan ombak yang menghantam keras. Bersyukurlah dengan segala sesuatu hal, apapun itu. Baik dan buruk, manis dan pahit, semua akan menjadikan kita lebih tegar ibarat karang. Hatimu akan damai jika selalu bersyukur dan menikmati kehidupan dengan santai.

Echi Sianturi
pagi buta di Yogyakarta, 2017.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Total Pageviews

Translate