Sepotong Kenangan Tercecer di Edinburgh


Angin sejuk musim gugur berhembus di taman kota Princess, Edinburgh.  Nampak seorang lelaki muda duduk termenung seorang diri di sudut taman. Lelaki berusia sekitar 22 tahun itu begitu khusyuk menulis di buku kecilnya, sesekali merapatkan mantel coklat berbulu yang dia kenakan. Angin musim gugur Edinburgh begitu menusuk hingga ke sendi-sendi tulangnya.

Deretan pohon  mapel yang memisahkan rel kereta api di stasiun Weaverly dengan taman itu, begitu memesona pandangan. Sejauh mata memandang warna daunnya membentuk paduan warna nan elok; kuning, jingga, merah tua hingga coklat. Siap berguguran satu per satu menyambut kedatangan musim dingin yang tinggal menghitung hari lagi.

Lelaki bernama Diki itu beranjak dari kursi taman yang telah dia duduki kurang lebih dua jam. Berjalan pelan menyusuri jalanan kota Edinburgh yang mulai lenggang menuju Universitas Edinburgh tempat ia menimba ilmu empat tahun terakhir. Bangunan kampus yang kental dengan gaya Georgian abad ke-18, membuatnya begitu enggan meninggalkan kampus yang melahirkan penulis terkenal kesukaannya, Sir Arthur Conan Doyle.

Mata elang miliknya menerawang jauh ke kastil Edinburgh yang berdiri kokoh di atas bukit. Menegaskan kejayaan Skotlandia si negeri dongeng pada masa lampau. Angin musim gugur berhembus semakin kencang, Diki semakin merapatkan mantelnya, “Dingin yang menusuk ini mengingatkan pada sebuah desa di kaki gunung yang kini kurindukan”, ujarnya tertahan sembari terus berjalan menuju kampus yang hanya tinggal beberapa meter lagi.

***

Langit sedang tak berbahagia, mendung menyelimuti pekon (desa) Bahway pagi itu. Anak-anak tetap berlarian ceria meski tahu akan turun hujan, puncak gunung Pesagi tertutup awan. Puncak yang selalu berhasil mengajak para pendaki untuk datang dan merasakan sensasi mendaki di puncak paling tinggi di Lampung itu.

“Diki, ayo kita main”, ajak lelaki berusia tujuh tahun itu. Rambutnya gimbal dan deretan giginya yang ompong terlihat jelas ketika ia tersenyum.

“Iya”, jawab Diki singkat. Lelaki berambut gimbal itu tertawa kegirangan, langkah kakinya segera meluncur, berlarian melintasi jalan desa yang masih belum tersentuh aspal. Embun pagi menetes dari sela-sela pepohonan yang hijau, ibu-ibu membawa bakul sayuran menuju pasar tradisional terdekat.

Diki kewalahan mengejar si gimbal yang sudah berlari dengan kencangnya. Nafasnya memburu, ia berhenti sejenak. Tangannya merogoh satu kantung kelereng yang sudah ia persiapkan dari rumah, ia sudah tahu jika si gimbal pasti akan mengajaknya adu kelereng. Berapa kali bermain adu kelereng pun, Diki akan tetap menang. Di pekon Bahway, ia adalah master kelereng yang tak terkalahkan.

“Diki, kamu mau bertanding kelereng lagi yah”, terdengar suara perempuan dari kejauhan. Ia menengok, mencari arah datangnya suara yang samar-samar itu. Anak perempuan berambut panjang sepinggang nan hitam, kedua bola mata yang bulat hitam serta kulitnya yang putih pucat, Nadia.

Diki menghentikan langkahnya, “Gimbal mengajakku adu kelereng lagi”, jawabnya singkat. Kedua anak kecil itu pun kembali berlarian, menuju tempat si gimbal. Gimbal melambaikan tangannya dari kejauhan, di sebuah tanah lapang tempat anak-anak setempat menghabiskan waktu senggang. Bermain bola kaki, engrang, petak umpet atau hanya sekedar adu kelereng seperti Diki dan Gimbal lakukan pagi itu. Lapangan itu penuh sesak oleh kumpulan anak-anak yang ingin menyaksikan adu kelereng antara mereka berdua.

“Ayo Diki kalahkan si gimbal”, teriak anak laki-laki bertubuh gempal di barisan paling depan.

“Ayo Gimbal kalahkan Diki, jangan mau kalah lagi”, teriak anak laki-laki lain tak mau kalah.

“Diki! Diki! Diki! Semangat master kelereng kami!”, teriakan dari kubu Diki.

“Gimbal! Gimbal! Gimbal! Gimbal! Jangan mau dikalahkan lagi dengan Diki!”, kubu si Gimbal pun tak mau kalah, meneriaki Gimbal dengan begitu berapi-api.

Diki dan Gimbal hanya terdiam, menatap heran kepada tingkah laku teman-teman mereka yang semakin memanas. Pertandingan adu kelereng kali ini memang pertandingan yang sangat ditunggu-tunggu, adu kelereng terakhir sebelum lebaran esok hari.

“Ayo Diki kalahkan Gimbal lagi!”, ujar anak lelaki bertubuh gempal, ketua dari kubu Diki.

“Gimbal ayo kalahkan Diki untuk kami”, sambung anak lelaki lain dari kubu seberang.

Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, adu kelereng yang di awalnya adem-ayem saja berubah menjadi arena perkelahian. Nadia si gadis bermata besar berteriak ketakutan, berlari menjauhi gerombolan anak laki-laki yang sudah tak mampu di kontrol.

“Siapa yang mau bertanding, siapa yang akhirnya malah berkelahi”, desah Nadia pelan. Nadia pun berlari menghindar, segera mencari pertolongan masyarakat sekitar untuk melerai perkelahian teman-teman sebayanya yang bukan hanya satu atau dua kali terjadi.

***

“Tabik pun1”, ujar kepala desa pekon Bahway membuka sambutan dalam rangka lebaran tahun ini. Pagi ceria, lantunan takbir berkumandang di segala penjuru pekon. Anak-anak dengan sumringah memakai baju baru yang ibu mereka belikan. Masyarakat pun sibuk menyiapkan festival sekura, sebuah festival topeng khas Lampung Barat yang paling ditunggu-tunggu.

Para turis asing mulai berdatangan, mengabadikan setiap moment di pekon Bahway yang tak akan mereka jumpai di Negara mereka. Mulei dan mekhanai pekon Bahway saling mencuri pandang satu sama lainnya, kemudian tertawa kecil sembari memberikan kode-kode jika mereka sama-sama tertarik.

Gerombolan anak-anak yang terlibat perkelahian kemarin saling berjabat tangan, gurat bahagia begitu terpancar dari wajah mereka yang masih polos. Berkelahi, kemudian berteman lagi, begitu setiap harinya. “Kham unyin muakhi2!”, ujar lelaki bertumbuh gempal bersemangat.

***

“Sir, please one creamy latte”, pesan Diki kepada pelayan cafe yang mengenakan  Kilt3. Alunan musik tradisional Skotlandia semakin memanjakan pendengaran Diki. Musisi muda bermata hazel itu mahir memainkan Big Pipe4 dengan penuh penghayatan. Sekilas, tak ada yang istimewa dari The Elephant House. Seperti kafe-kafe biasa di Edinburgh, layaknya The Doctors, sebuah kafe kecil di sudut jalan, dekat universitas Edinburgh yang kerap kali ia datangi. The Elephant House menjadi saksi bisu tempat kelahiran si Harry Potter, bocah penyihir berkacamata yang mendunia itu.

Benaknya menerawang jauh, percakapan singkat via telepon dengan salah satu rekannya di Liwa.  Membawanya sejenak pergi berangsur dari negeri dongeng Skotlandia menuju tanah di selatan pulau Sumatera. “Winston Churchill pernah berkata, “Dari semua negara kecil di bumi, mungkin hanya Yunani Kuno yang melampaui Skotlandia dalam hal kontribusi terhadap umat manusia”. Sungguh luar biasa bukan aku dapat menimba ilmu disini”, ungkap Diki antusias.

“Hingga kamu tak ingin kembali lagi ke tanah Ruwa Jurai, ki?”, pertanyaan menohok ia terima. Sebuah pertanyaan yang cukup menyudutkan meski ia akui tak ada intonasi menyindir dari teman masa kecilnya itu.

“Jangan menghakimiku Gimbal”, sanggah Diki cepat.

“Pulanglah. Karena kampung halamanmu adalah sebaik-baiknya tempat untuk pulang. Apa kamu tidak ingin melihat festival sekura tahun ini? Sudah berapa festival kamu lewati begitu saja”, ujar Gimbal. Suaranya serak, mencoba menahan kekecewaan yang menggelayuti hatinya. Telepon pun terputus, jaringan antar benua memang tidak begitu bagus. Malam telah terlalu larut, udara malam Edinburgh berhasil membuat Diki menyerah dan mengambil selimut tebalnya.

Pelayan memberikan creamy latte yang Diki pesan sekaligus membangunkannya dari lamunan akan kampung halamannya. Ia bergegas keluar dari  kafe dengan warna cat oranye yang dipenuhi antrean pembeli. Berlari menuju halte bus Edinburgh, platform A yang tak jauh dari kafé. Ia dengan sigap mengeluarkan £1.5 dari dompet kulit hitamnya seraya menyerahkan kepada supir bus, “Sir, Edinburgh Airport”, ujarnya mantap. Bus Lothian5 membawanya pergi menuju bandara tempat di mana ia akan pulang untuk menuntaskan rindu akan tanah kelahiran yang telah lama tertahan jauh di benua Eropa sejak dua tahun yang lalu.

***

Keterangan:
Tabik pun1 : Sambutan khas masyarakat Lampung
Kham unyin muakhi2 : Kita semua bersaudara
Kilt3                             : Baju tradisional Skotlandia berbentuk rok dengan motif kotak- kotak
warna merah atau  biru dan hitam
Big Pipe4 : Alat musik tradisional Skotlandia
Bus Lothian5 : Bus bertingkat dalam kota di Edinburgh


Cerpen ini menjadi juara dua dalam lomba cerita pendek “Cerita dari Kampung” yang di selenggarakan oleh Aura Publishing dan sudah diterbitkan dalam bentuk Antologi Cerpen “Cerita dari Kampung” bersama tiga puluh kontributor.


Post a Comment

0 Comments