Bayang Senja di Ujung Kota

Mentari terlihat muram durja di barat kota Depok. Membuatku sedikit berangsur menjauh dari pandangannya. Beranjak dari trotoar jalan, duduk di pojokan taman kota yang lenggang. Suara daun gemerisik pelan, memainkan irama alam yang membawaku pergi sejenak dari penatnya masalah dunia yang tak ada habisnya.

***

Kukayuh sepedaku menyusuri jalan Margonda yang kini sudah tak ramah lagi. Kawasan yang dipenuhi deretan tempat hiburan, mall yang berdiri megah, tempat karaoke yang selalu penuh sesak oleh para pengunjung. Aku berhenti disisi kanan jalan, meneguk air mineral yang kubawa dari kostan. Menatap tajam kepada sepotong senja langit Depok yang muram.

Ada luka yang kutangkap lagi-lagi pada senja hari ini. Aku terdiam lama kemudian kembali mengayuh sepedaku ke tempat yang entah aku pun tak tahu akan kemana. Kubiarkan saja laju sepedaku terus berlari membelah jalanan kota Depok yang padat merayap.

Mataku menangkap sosok pedagang buah keliling dengan kaki pincang terseok-seok mendorong gerobaknya. Pedagang yang selalu aku temui ketika pergi ke kampus. Kakinya yang acapkali tak menggunakan alas kaki, rambutnya yang mulai memutih, dan raut muka yang sudah lelah. Aku terkadang membeli minuman dingin darinya meskipun aku membawa minum dari kostan. Tak ada hal khusus, hanya ingin melihat senyumnya ketika ada seorang yang membeli dagangannya.

“Sepotong kisah di Depok yang penuh dengan makna. Akan kukayuh sepedaku hingga jarak terjauh”, senandungku dalam hati. Jilbab hitamku menari dimainkan oleh angin sore yang telah terkontaminasi dengan asap kendaraan yang lalu-lalang. Melihat kota yang telah aku tinggal selama dua tahun terakhir, menjalani banyak kisah.

“Apa yang paling aku harapkan dari sebuah kota bernama Depok? Selain tetap ramah kepada diri-diri yang merindu kedamaian”, desahku. Mataku tetap tertuju kepada sosok seorang pria yang tengah memainkan biolanya dengan begitu syahdu.

“Seperti kedamaian ketika mendengar alunan musik klasik ini”, aku mencoba menutup kedua mataku. Merasakan alunan musik yang dimainkan violinist muda itu, seolah membawa kepada dimensi lain. Dimensi yang hanya menawarkan kedamaian saja tanpa kebisingan dunia yang semakin carut marut.

“Lagu yang memang sangat meneduhkan, Yiruma seorang memang komposer yang handal”, ungkapku kembali masih dengan nuansa musik yang melenakan. Pemain biola itu menyudahi permainannya dengan diiringi tepuk tangan, lelaki muda itu perlahan mendekatiku.

Kiss the rain memang lagu terbaik Yiruma, bukan?”, tanyaku. Pemain biola itu hanya tersenyum kemudian duduk di sampingku, meneguk lemon tea hangatnya yang mulai dingin.

Lemon tea hangat yang sudah mulai dingin memang tak senikmat ketika hangat”, ujarnya sedikit kesal. Aku tertawa kecil melihat gurat wajahnya yang tetap sama, dingin. “Seperti hidup yang tanpa masalah yah, tak ada seninya”, tambahku.

Aku mengambil biolanya, mencoba memainkan lagu River Flows in You milik Yiruma dan sukses gagal. Aku tersenyum lebar, mengembalikan kembali biola miliknya seraya berkata, “Lain kali mainkan lagu itu untukku yah”.

“Aku tak mau berjanji”, ungkapnya pelan. Tangannya dengan lincah mengambil biola dan memainkan satu lagu yang aku tak tahu judulnya. Aku terdiam menatap sepotong senja di langit Depok yang masih muram. Aku menarik nafas dalam, kulangkahkan kaki dengan gontai menjauhi pemain biola yang tengah asyik dengan lemon tea-nya.

***

Pukul menunjukkan pukul 2 pagi lebih 30 menit. Aku masih terjaga membelah jalanan kota Depok yang lenggang, tepat di sampingku dia sedang menyetir dengan serius. Sesekali menahan kantuk yang menyerang hebat, luar biasa sekali kami bekerja lembur hingga pagi.

“Hati-hati menyetirnya”, ungkapku khawatir sembari memberikan sebotol air mineral agar membuat dia lebih segar. Raut wajahnya amat lelah, namun masih harus berkelahi dengan segala bentuk tanggungjawab yang ia pikul.

“Kita sampai Jakarta sekitar 30 menit lagi. Kita hanya ada waktu beberapa jam saja untuk istirahat, aku harap kita tidak terlambat dating ke acara Halalbihalal”, ujarnya pelan.

Waktu yang kuhabiskan hampir setiap hari dengannya, membuatku sedikit demi sedikit mengenalnya. Sosok yang kharismatik dan bertanggungjawab, namun acapkali memendam rasa sedihnya sendiri. Karena ekspetasi orang lain terhadapnya terkadang melelahkan dan hampir tak ada ruang baginya untuk menjadi manusia biasa.

Tak ada yang salah dengan pertemuan ini. Pada awalnya aku beranggapan demikian. Pertemuan dan perbincangan yang mengalir begitu saja tanpa ada beban. Obrolan ringan hingga berat yang terjalin saat berada di dalam mobil, aku menyebutnya car talk. Setidaknya itu anggapan dalam pikiranku.

Parasnya yang diam-diam menyimpan luka, beban yang ingin ia pikul sendiri. Membuatku merasakan hal yang tak mampu didefinisikan; aku ingin berada disampingnya. Harapan kecil yang timbul tenggelam dalam benakku. Apakah mungkin jika suatu hari kita dapat berbagi? Bukan hanya bahagia tapi juga cerita tak mengenakan yang sejatinya tak ingin ada seorangpun yang ingin kita beritahukan.

“Sudah sampai”, katanya singkat dan pelan.

Aku terdiam sejenak berusaha bangun dari rasa kantuk yang semakin membuncah. Semilir angin malam, hawa yang sejuk serta bias cahaya rembulan yang masuk melalui kaca mobil membuatku tak ingin beranjak dari sisinya.

“Terimakasih, hati-hati di jalan yaah”, aku mengucapkan salam perpisahan. Tangannya mengelus kepalaku pelan, aku benar-benar enggan berpisah dengannya malam itu.

***

Sebut saja namanya Ryan; seseorang yang baru kukenal selama satu tahun belakangan ini. Sesama perantau yang kerja jauh dari keluarga, kami memahami jika memikul beban yang sama; sepi. Ada kalanya hal sederhana membuat kami tertawa terpingkal-pingkal, hanya perihal nama salah satu brand baju ternama yang kami temui saat mencari jas di mall.

Dibalik canda dan tawa yang terukir pada setiap pertemuan, nyatanya itu hanya menutupi topeng serta bayang-bayang kelam yang tak ingin ia bagi. Ryan, ia masih terbelenggu dalam trauma yang belum mampu diajak berdamai.

Kuhitung setiap malam, menuju akhir April. Tak ada asa lain yang ingin kudekap hingga nanti kutemui April selanjutnya. April yang kuharap akan lebih mesra memelukku dengan senjanya yang memesona. Bukan senja yang melankolis di langit Depok yang kudapati saat ini, karena kenangan yang tak kuharap hadir kembali.

“Apa cinta itu harus memiliki?”, kalimat itu terlontar dari bibirmu. Pertanyaan klise yang kerap kali kutemui. Pertanyaan retoris yang tak harus aku jawab.

“Karena memiliki itu hanya sekedar ilusi belaka”, kau pun dengan lirih menjawab pertanyaan yang kau ajukan sendiri. Dalam diam yang lama, berkutat dengan pertanyaan demi pertanyaan yang terus datang menggelayuti kepalamu.

Aku berdehem pelan, menutup kedua kelopak mataku yang mulai memanas. Tak ada air mata lagi, aku janji. Setiap tangis yang hadir dipenghujung pertemuan selalu menjadi rutinitas yang ingin sekali aku abaikan. Abaikan.

“Bagaimanapun aku akan tetap menikmati senja, dengan atau tanpamu”, kupaksa bibir ini mengeluarkan meski hanya sebaris kalimat yang tertahan.

“Tegarlah seperti batu karang di pantai. Meski nanti aku sebagai lautmu perlahan meninggalkan bibir pantai. Berbahagialah”, kau pun mengelus kepalaku mesra. Kemesraan yang mati di akhir April.

Bergulat dengan masa lalu yang belum selesai, kau dan kisah lamamu. Aku mengetahui pintu dalam hatimu tak mudah begitu saja kau buka untuk sembarang orang, apalagi untuk tamu tak diundang sepertiku. Manusia yang datang tiba-tiba tanpa permisi.

Rasa sakit amat menyiksa batin, sebisaku tepis segala pikiran negative yang menganggu waktu tidur malamku. Cerita yang akhirnya kau buka sendiri setelah lama kau pendam, setelah berbulan-bulan aku bertahan, menunggu penjelasan yang terucap langsung dari bibir keluhmu.

Tatapan seduh dari dua bola matamu, membuatku tersadar betapa pedihnya beban yang kau coba sembunyikan selama ini. Aku meraih tangannya, menggengam erat tak ingin lepaskan genggaman barang sejenak. Tuhan, mengapa manusia yang duduk tepat di depanku ini Engkau berikan cobaan yang bertubi-tubi? Mungkinkah Engkau memberikan kesempatan untuk ia merasakan tidur malam yang nyenyak tanpa dihantui masa lalu.

Kita selalu mendengar kabar dari manusia lain, jika manusia akan datang dan pergi. Datang dengan porsinya masing-masing, dan pergi jika telah selesai. Aku hanya mampu berdoa jika Ryan memahami hal tersebut dan mulai reda dengan traumanya sendiri.

***

Jam di tangaku sudah menunjukkan pukul enam sore. Mendung, langit masih tetap sendu. Aku berusaha lepas dari jerat ketakutan yang memborgol hatiku selama ini. Kukumpulkan segenap keberanian yang kupunya. Tak ingin ada sesal lagi nantinya. Aku berjalan, celanaku basah oleh genangan air di pinggir trotoar.

Tidakkah kau pernah membaca sebait puisi dari William Shakespare? Jangan membiarkan wanita menunggu terlalu lama, dia akan dingin seperti sup. Yah, aku lama-kelamaan dingin. Dingin, hingga aku hanya mampu terdiam sembari menunggu kabarmu.

Percakapan atau mungkin pertengkaran hebat yang terjadi diantara kita kala itu. Nyatanya persamaan bahasa tak membuat kita mampu berkomunikasi secara utuh. Ada banyak hal yang tak bisa diungkapkan atau memang tak ingin?

“Prolematika hidupku lebih sulit daripada yang kamu bayangkan”, Ryan berucap pelan. Aku tahu benar jika ia sebenarnya tak ingin mengutarakan isi hati sesungguhnya.

“Jika kamu masih bergulat dengan trauma masa lalu, alangkah bijaknya jika kamu nggak sampai menyakiti perasaan orang lain. Maaf aku nggak bisa mentoleransi hal ini”, aku sedikit menaikan pita suara. Iya, aku sangat kecewa!

Setelah obrolan panjang serta waktu yang dihabiskan bersama tak lantas menjadikan kita memahami orang tsb. Begitu pekat bayangan yang coba ia sembunyikan dariku selama ini. Hal yang seharusnya aku ketahui, namun selama ini ia tutupi hingga membuatku menjadi seperti sosok yang gampang dibodohi.

“Tulus dan bodoh ternyata begitu tipis garisnya”, kalimat terakhir yang kuucapkan. Sejak kala itu aku tak ingin mengetahui apapun tentangnya kembali. Apapun itu.

Sang Violist menepuk pelan bahuku, membangunkan alam pikiranku yang sejenak mengingat hal yang lalu. Aku beranjak dari tempat duduk, berangsur melangkah pergi.

“Kamu mau kemana?”, tanya pemain biola menghentikan langkahku.

“Aku ingin mengayuh sepeda lagi”, jawabku singkat.

“Kemana?”, tanyanya kembali.

“Entahlah. Mungkin saja ketempat di mana aku dapat melihat sepotong senja yang berbeda di langit Depok ini”, tandasku.

“Tak perlu jauh-jauh, bukankah disini kamu juga dapat melihat senja?”, ujarnya cepat seolah ingin menghakimiku. Buat apa jauh-jauh hanya untuk melihat senja.

“Senja yang kulihat dari sini begitu melankolis, aku tak tahu mengapa seperti itu terjadi berulang kali”, aku tertunduk sedih. Sepotong senja yang kuharap ceria tak jua menunjukkan batang hidungnya.

Aku kembali melangkahkan kakiku kali ini lebih cepat, menuju tempat aku menitipkan sepeda biru kesayanganku. Berharap pemain biola tak menanyaiku lagi tentang sepotong senja yang kuharapkan hadir hari ini.

Langit semakin pekat, burung-burung terbang bergerombol menikmati sore yang hangat. Aku tetap mengayuh sepedaku, ketempat di mana aku dapat menemui sepotong senja di langit Depok yang sering hadir dalam mimpi malamku. Sepotong senja di langit Depok yang kuharap mampu menemani kegundahanku akan dunia.

---

Depok, akhir tahun 2024

Cerpen untuk proyek antologi FLP Depok

Post a Comment

0 Comments