Ramadan Pertama Tanpa Ibu


Bagaimana mendeskripsikan Ramadan pertama tanpa ibu?

Pukul 23:38 nyaris tengah malam, pikiranku masih berkelindan. Ada resah yang menggelayut, menyusup ke sudut-sudut hati, menghalangi kantuk meski lelah telah lama singgah. Euforia malam pertama Ramadan kini terasa asing, seakan kehilangan warnanya. Apakah hampa? Mungkin. Atau mungkin ini hanya luka yang enggan didefinisikan.

Kehilangan ibu adalah patah hati yang tak memiliki obat. Waktu katanya bisa menyembuhkan, tapi nyatanya itu hanya mitos yang dipelihara oleh mereka yang tak benar-benar tahu bagaimana rasanya kehilangan. Duka bukan sesuatu yang bisa dihapus oleh jarak atau tahun. Ia menetap, mengakar, dan menjelma bayangan yang selalu mengikuti ke mana pun langkah kaki membawa. Yang lebih menyakitkan bukan sekadar kepergiannya, tapi kenyataan bahwa hidup tetap harus berjalan, meski hati telah berserakan seperti kaca yang retak.

Jadi, bagaimana Ramadan pertama tanpa ibu? Seribu kalimat pun tak akan cukup untuk merangkum jawabannya. Pulang ke rumah tak lagi membawa kehangatan, justru menjadi mimpi buruk yang enggan kuhadapi. Tak ada lagi sosok yang menanti di balik pintu, tak ada tangan lembut yang menyajikan hidangan berbuka. Kini, rutinitas pulang berubah menjadi ziarah, berbicara dalam diam di hadapan nisan yang bisu, berharap doa-doa yang kulantunkan menemukan jalannya ke langit.

Kehilangan adalah fase paling mutlak, sebuah takdir yang tak bisa ditawar. Kita semua tahu, sejak awal kehidupan adalah perjalanan menuju perpisahan, tapi tetap saja, siapa yang benar-benar siap? Tak ada. Tak akan pernah ada. Waktu tak pernah memberi jawaban pasti, hanya menyisakan misteri tentang kapan dan bagaimana segalanya akan berakhir.

Tuhan, takbir-Mu tetap bergema indah di langit. Maka izinkan hati yang berduka ini tetap mengimani-Mu, dengan atau tanpa sosok yang telah Kau panggil pulang.

Jakarta, 1 Ramadan 1446H

echisianturi

 

Post a Comment

0 Comments