Pejuang Jalan Sunyi

September 04, 2012


(ini sejatinya adalah tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, berhubung tema yang diajukan adalah bebas, maka sekalian kami berusaha mengeluarkan apa yang selama ini bergejolak dalam pikiran kami, silahkan kasih komentar di sini. Komentar Anda sangat membantu tugas kuliah kami. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih, ^_^)

Tak terasa, sudah lebih dari empat tahun pemerintah Indonesia menandatangani The Convention on The Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat. Juga lebih dari empat bulan Pemerintah dan DPR meratifikasinya, namun sampai detik ini tidak ada perkembangan berarti. Bahkan, sebelum ada CRPD terlebih dahulu pemerintah “menjamin” hak-hak penyandang difabel dalam UU No 4 Tahun 1997 hingga UU No20 tahun 2003 , namun kaum difabel masih tetap berada dalam posisi yang statis: termarginalkan.

Hingga kini kaum difabel masih menjadi kaum minoritas yang terpinggirkan dari masyarakat, tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Alih-alih pemerintah mendirikan sekolah Luar Biasa (SLB) dengan harapan agar kaum difabel dapat berkembang sesuai potensinya, justru yang terjadi adalah sebaliknya. SLB tidak lebih dari upaya pemerintah menciptakan garis pembatas antara yang difabel (catat) dengan mereka yang –katanya- normal. Tak heran jika dalam masyarakat, yang selama ini berada dalam bayang-bayang kekuasaan “kenormalitasan” kaum difabel dianggap sebagai minoritas yang layak untuk dijauhkan dari seluruh aktifitas masyarakat.

Sejarah pun telah menjadi saksi atas “insiden” berdarah ini. Dapat kita lihat dalam altar sejarah, negara merupakan produk dari sebuah konsep keperkasaan, “kenormalan” dan kekerasan. Awal konsep negara merupakan sebuah kontruksi dari rentetan perang panjang. Perjanjian Westphalia tahun 1648. Perjanjian ini merupakan peralihan dari kekuasaan gereja ke daulat sang raja. Dan perjanjian ini merupakan akomodasi untuk perang yang berdurasi 30 tahun (Gidden, 2000). Dalam setiap perang selalu ada disana tentara, keperkasaan, ke-lelaki-an. Kuasa normalisme meresap di sana. Gelombang nasionalisme juga merupakan riak Marthin Luther. Sang komandan besar dalam reformasi Protestan yang merestui pembunuhan bayi-bayi difabel karena dianggap sebagai sebagai “titisan setan” (Colin, 1997). Begitu pula dengan kaum Yahudi yang menganggap Difabel tidak lebih sekadar “keturunan” syaitan pula. Tak hanya itu, kita dapat berkaca dari zaman Nazi Jerman yang juga tak kalah jauh dengan Marthin Luther.

Ideologi normal menilai difabel sebagai masalah, sebagai bagian dari “penyakit” dan “patologi sosial”. Mereka diobjekkan secara medis, hingga kemudian di “rehabilitasi”, selayaknya rumah yang rusak atau benda yang "terlahir" tidak sempurna . Panti-asuhan dan pusat rehabilitasi didirikan di mana-mana, dibangun untuk menseterilkan difabel. Mereka selayaknya “orang gila” pada abad pertengahan Eropa, dienyahkan kuasa yang didahului sebuah kuasa diskursus: rasionalitas, yang berwujud legitimasi klinis/medis (Foucault, 1988).

kini, di Indonesia, negeri yang katanya menjunjung tinggi hak-hak setiap warganya, kuasa normalisme dapat kita temui di SLB-SLB yang berjumlah ribuan, baik yang negeri maupun swasta. Mereka sengaja dipisahkan dari masyarakat; sebagai pembeda, pemisah, pembatas, atau semacamnya, antara yang normal dengan yang difabel. Tak heran, jika banyak dari penyandang difabel yang selama ini peka terhadap realitasnya seringkali menggugat eksistensi SLB. SLB tidak lebih hanya sekadar kandang ayam, tak mengherankan jika banyak aktifis disabilitas yang berasal dari penyandang difabel menuntut adanya persamaan hak di masyarakat. Salah satunya adalah pendidikan inklusi. Namun, keadaan yang bertolak belakang justru terjadi pada diri aktifis penyandang disabilitas yang berasal dari non-difabel, mereka justru mengampanyekan, bahkan mensukseskan keberadaan SLB. Ini yang patut dipertanyakan, maka bagi aktifis disabilitas yang non-difabel dengarlah pesan kami; berhentilah seolah-olah Anda berkuasa atas kami, seolah Anda adalah Tuhan atas kami, kekuasaan dalam normalitas.

Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusi secara luas dan jelas telah termaktub dalam naskah CRPD pasal 24 ayat 1, “ Negara-negara pihak harus mengakui penyandang cacat atas pendidikan. Dengan tujuan untuk mewujudkan hak ini tanpa diskriminasi dan atas dasar kesetaraan kesempatan. Negara-negara pihak harus menjamin suatu system pendidikan inklusi di semua tingkatan dan pembelajaran seumur hidup

Istilah pendidikan inklusi dapat didefinisikan sebagai aktifitas pembelajaran yang bersifat terbuka. Dalam artian, ia membuka diri terhadap segala macam hal, keadaan, maupun hasil dari aktifitas-aktifatas manusia itu sendiri, termasuk di dalamnya kaum difabel. Tak heran, belum maksimalnya pendidikan inklusi membuat kaum difabel masih terkungkung dalam ruang kesendirian, ruang di mana mereka hanya sanggup merangkak dalam ruang yang sejatinya kosong; miskin, bahkan mati akan kehidupan.

Entah Anda percaya atau tidak. Meski saya –yang penyandang tuna rungu sejak usia sebelas tahun- belum pernah mengenyam pendidikan di SLB, namun pergaulan saya dengan teman-teman yang senasib-sepenanggungan merasa miris dan hendak menangis melihat realita yang ada. Kualitas lulusan SLB tidak jauh berbeda dari mereka yang tidak mengenyam pendidikan. Jikapun ada, jumlahnya tak seberapa, bahkan bisa saya estimasikan tidak lebih dari 0,5%. Saya tak terkejut jika berdasarkan data yang ada, tidak lebih dari 0.01% penyandang difabel yang mengenyam di perguruan tinggi.

Minimnya mahasiswa difabel tidak lain karena sistem pendidikan di SLB tidak sesuai standar yang ditetapkan Perguruan Tinggi. Di SLB mereka cenderung digembelang untuk menjadi tukang kayu, tukang jahit, atau kegiatan lain asalkan mereka dapat melakukan “sesuatu”. Dan sesuatu yang bernama “sesuatu” itu tidak lebih tetap menempatkan mereka berada dibawah kuasa kenormalitasan. tentu saja mereka tak pantas masuk perguruan tinggi. Meski pendidikan tinggi tidak secara mutlak menjamin "takdir", namun seiring dengan menjamurnya era globalisasi, setidaknya perguruan tinggi merupakan hal yang turut berperan dalam menunjukan eksistensi diri.

Maka, dengan diratifikasinya CRPD dapat memberi angin segar bagi penyelenggaraan pendidikan inklusi sejak pendidikan Dasar hingga perguruan tinggi. Dengan sebuah harapan, dapat memutus kekuasaan kenormalitasan yang telah mentradisi dan diturunkan secara hirearki kepada generasi penerus hingga saat ini. Namun, harapan itu sepertinya hanyalah si pungguk merindukan bulan jika tidak ada kesadaran dari masyarakat untuk menghapus segala bentuk diskriminasi yang telah meng;"kanibal"-kan kaum difabel. Mengingat selama ini pemerintah telah mulai kehilangan legimitasinya di mata publik, maka publiklah yang menjadi tumpuan utama dalam merealisasikan harapan kami; penyandang disabilitas.

Atas dasar itu pula, kami hendak mendirikan Forum Komunikasi Mahasiswa Difabel Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam rangka memperjuangkan hak-hak penyandang difabel dalam mengenyam pendidikan, khususnya di UGM dan lembaga pendidikan umum lain umumnya, baik dari tingak dasar hingga tingkat perguruan tinggi ; atas dasar kesetaraan! salah satu upaya membebaskan kaum difabel dari bayang-bayang cengkraman kenormalitasan. semoga.....

Yogyakarta, 24 Maret 2012
Mukhanif Yasin Yusuf, penggagas Forkom Mahasiswa Difabel UGM. Penyandang Tuna Rungu yang juga Mahasiswa semester kedua Sastra Indonesia UGM. staff Dept media LEM FIB UGM dan Divisi RPPM KMSI UGM.

Referensi:
Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat dan Protokol Opsional terhadap Konvensi, diterjemahkan dan diterbitkan tidak resmi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dari naskah asli “The Convention on The Rights of Persons with Disabilities”
http://amexdifabel.blogspot.com

(Fauzan, ini artikelnya. tanpa editing, kalau ada yang kurang ngomong ke aku. posternya juga agak kurang sreg, tapi cuma sedikit, nggak apa-apa deh. kasihan kamu harus ngedit lagi, heheheh...)

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Total Pageviews

Translate