Segelintir mimpi tentang tanah impian, menginjakkan kaki di tanah eropa. Merasakan masa-masa kejayaan abad dahulu, meraba kastil-kastil tua nan megah. Kota ini selalu menjadikan segala lelah berubah menjadi Lillah, seperti kutipan dalam buku Sang Pemimpi 'Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu". Toh, mimpi gratis bukan? :)
@echisianturi
Bulan merah menggantung pogah di
langit, cahaya temaramnya terseok-seok menerangi sudut-sudut gang yang bau
pesing. Orang-orang menerawang jauh ke atas, memandangi malam yang tak secuil
pun bintang bertamu. Kembali bersua dengan sepi, kegamangan demi kegamangan. Rokok
di tangan kiri, pisau di tangan kanan. Layaknya sepasang senjata yang
mematikan, untuk perlawanan terhadap ketidakadilan.
Manusia-manusia,
bermilyar yang hidup di dunia ini. Melenggak-lenggokan kaki mereka
ketempat-tempat yang menjanjikan gemerlap hedonism. Secuil rasa iba pada mereka
yang tertahan di batas Negara dengan paras wajah lelah, dengan kaki yang mulai
gemetaran, dengan bibir yang tak henti mengalunkan doa, secuil rasa iba mungkin
sudah menjadi hal yang langka.
Tak
ada yang aku inginkan selain melihat manusia, iya manusia yang saling
memanusiakan. Banyak manusia yang kulihat namun tak semua memiliki rasa
kemanusiaan. Sisa-sisa nasi yang dikais dari tong sampah yang berbau anyir,
rasanya sungguh nikmat di lidah. Air kotor melegakan kerongkongan ketimbang
harus menahan dahaga selama berhari-hari. Dan kuku-kuku tangan yang menghitam
tetap berusaha berjuang dalam keterpurukan kisah dunia.
Ketika
bulan bersua bersama dengan angin malam yang menusuk hingga ke tulang rusuk. Tak
ada yang mampu dilakukan, selain mendekap erat satu sama lainnya. Tak dihiraukan
lagi bau keringat yang membaur, tak dihiraukan lagi pakaian yang berubah yang
kecoklatan penuh dengan sisa-sisa tanah, debu, sampah. Dingin malam yang kuat, menjadi
saksi bisu bahwa tak selamanya malam membawa ketenangan didalam jiwa.
Orang-orang
yang mereka sebut gelandangan meneguk air liur menatap kagum pada kehidupan
yang serba mewah. Makanan yang bergizi, pakaian yang bagus, rumah yang nyaman,
kehidupan yang layak. Tinta takdir memang tlah dituliskan dan kering, maka
bersabarlah pada nikmat luar biasa yang sesungguhnya Tuhan selipkan diam-diam
dalam perjuangan siang dan malam menghargai nasib.
Monolog
kemanusiaan, tentang mereka juga tentang aku. Tentang semua yang
mengatasnamakan diri mereka sebagai seorang manusia. Entahlah, manusia mana
yang sebenarnya manusia. Apakah aku manusia yang sejatinya? Ataukah kamu?
Lagi-lagi malam menyimpan misteri yang lambat laun terkubur zaman. Malam masih
bersama dengan sorot temaram rembulan menyusuri gang-gang bau pesing dimana
manusia hebat terus bergulat bersama takdir, menempa kehidupanNya.
Malam ini terlalu kaku, malam ini terlalu sendu untuk menguraikan segala piluh. Bermonolog tentang manusia membuat pija-pijar naluriku semakin menguat. Kudekap saja gurat gelisah pada butiran-butiran embun, hingga esok harinya mengabur. Kemudian terlupakan perlahan.
I see human, but not
humanity
I see human, but not
humanity
I see human, but not
humanity
@echisianturi
Bersama secangkir coklat panas yang pekat
Rindu ini milik siapa?
Kepada larik-larik sajak yang begitu banyak terurai menjadi celotehan tentang rasa yang mengendap sekian lama di bilik hati. Ingin sekali menitipkan rindu ini, namun entah kepada siapa? Jika hati pun tak tahu siapakah yang pantas untuk dititipkan rindu, menakarnya saja sudah tak mampu. Rindu ini acapkali tak tahu tempat, hinggap begitu saja meski enggan bersua dengannya.
Perasaan apa yang paling menyiksa di dunia ini? Mungkin saja rindu yang tak tahu harus dititipkan kepada siapa. Bolehkah aku meminta denganmu untuk menitipkan rindu ini barang sejenak saja. Mungkin satu detik, dua detik, sepuluh detik. Tak masalah meski hanya sesingkat itu, sesingkat hembusan angin yang datang hilir mudik kemudian bergegas melancong pergi.
Rindu menjejak dalam jarak, apakah yang mampu mempersatukan rindu? Aku tak tahu menahu mengenai hal tersebut. Aku hanya tahu aku sedang rindu, hanya itu. Meski ragu, meski rembulanmu seakan tak ingin memberikan pencerahan melalui cahaya lembutnya. Lagi-lagi, rindu ini milik siapa?
Rindu menjejak dalam jarak, beratus-ratus kilometer mungkin. Tak kuasa mengabarkan rindu kepada siapapun. Ahh, rindu ini memang sangat keterlaluan. Menghindar sekeras apapun, tetap datang melengkat di bilik hati ini, dihembusan nafas, di detik waktu yang bergulir. Aku tak ingin jika rindu ini berubah menjadi pahit, menghancurkan rasaku ketika tak kudapati seorang yang tak dapat kutitipkan rindu.
Hanya rindu. Iya, hanya rindu, secarik rasa mungkin yang enggan beranjak pergi. Rindu ini milik siapa? Untaian doaku saja yang melanglang buana menembus langit, untuk dia yang ingin kutitipkan rindu ini. Berdosakah jika aku mengharapkan engkau bersedia kutitipkan rindu ini?
Echi Sianturi
Dini Hari
Rekam Jejak Kenangan bersama FLP Lampung...
Judul tersebut memang sangat mewakili kehangatan ditengah-tengah kami. Saat itu, minggu mulai pukul tujuh pagi seperti biasa kami mengelar Taman Baca Masyarakat di seputaran GSG Univ.Lampung. Aku pergi bersama dengan Tika (lagi-lagi) menggendarai sepeda motor menyusuri jalan kota Bandarlampung yang masih lenggang. Udara menusuk kulitku yang tak mengenakan jaket, sejuk dan begitu menyegarkan pikiranku pagi itu.
Tiba disana hanya ada kak Jarwo, sendirian menggelar TBM. Sosok pemimpin kami yang loyal itu nampak santai menemani para pembaca dan peminjam buku TBM. Entahlah, dimana lagi kami akan menemukan sosok pemimpin yang amat loyal seperti kak Jarwo. Merelakan waktu minggu paginya untuk menggelar taman baca, menantang dingin mengendarai sepeda motor dengan berpuluh-puluh buku yang bertengger manis di jok sepeda motornya. Hari itu memang berbeda, suasana perpisahan semakin dekat.
Banner baru Taman Baca FLP Lampung
Setelah berbincang singkat dengan kak Jarwo, beliau pun meninggalkan aku dan Tika berdua di Taman Baca. Masih ada urusan lain yang harus kak Jarwo selesaikan mengenai peminjaman ruangan di Lampung Post yang akan menjadi tempat workshop kepenulisan hari itu. Langit pagi itu nampak sedikit mendung, terkadang gerimis datang tiba-tiba lalu berhenti. Cuaca yang tak menentu mungkin saja seperti perwakilan rasa didalam tiap hati yang sebentar lagi akan menemukan perpisahan.
Ada beberapa yang meminjam buku serta pengembalikan buku hari itu. Aku mengamati sekeliling yang sangat ramai, banyak anak-anak kecil yang berlarian riang kesana-kemari. Ada yang duduk manis membaca dengan khusyuk buku bacaan yang ada di taman baca FLP Lampung. Melihat antusias masyarakat akan kehadiran taman baca ini membuat aku bahagia. Pasalnya memang bangun di pagi hari, saat hari libur adalah hal yang terkadang membuat malas. Beranjak dari kasur yang empuk dengan selimut yang hangat. Tapi, lagi-lagi ketika mengingat kak Jarwo, kak Ahmad, mba Desti dan rekan-rekan lainnya dengan tekun dan semangat menggelar taman baca, rasa malas itu seketika lenyap. Ayolah, berbuat sesuatu untuk masyarakat, menebar kebermanfatan mulai dari hal yang kecil. Aku masih sangat jauh dari para sesepuh yang luar biasa, semangat mereka adalah bahan bakarku.
Dan Workshop pun segera dimulai
Tidak lama kemudian mba Afri pun datang disusul dengan kedatangan mba Desti. Mba Desti datang dengan membawa snack yang akan dibagikan untuk para peserta workshop kepenulisan nanti.
"Jarwo mana yah?", tanya mba Desti kepada aku dan Tika.
"Kak Jarwo lagi pergi mba, mengurus izin buat tempat di Lampung Post nanti". ujarku.
Waktu menunjukkan hampir pukul 9, dan kami belum menyiapkan snack dan lainnya. Bergegas aku dengan mba Desti pun pergi menuju tempat workshop. Taman baca tetap buka, Tika dan mba Afri yang menunggu disana. Sembari menanti kedatangan kak Ahmad yang masih mengikuti pengajian di Sukarame. Mba Desti mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang, tak lama kami pun sampai di TKP. Bergegas menyiapkan snack dan ruangan. Namun, terjadi kebingunan sejenak karena kak Ahmad tak kunjung datang, sementara beliau harus menjadi pembawa acara dan kami pun belum menutup taman baca. Hanya ada Tika disana, dan tak mungkin dia sendirian membawa buku-buku tersebut.
Acara molor kurang lebih sampai satu jam! Waah, sejujurnya kami merasa tidak enak dengan para peserta yang telah menunggu sedari tadi. Namun, apa mau dikata ada beberapa kendala yang menyebabkan acara agak sedikit hehee terlambat. Workshop pun berjalan kurang lebih hampir tiga jam, Udo Z.Karzi menyampaikan dengan detail materi, Insya Alloh akan aku share yah dilain postingan :D
Alhamdulillah workshop selesai dengan lancar :)
Alhamdulillah, meskipun baru tadi malam kami memberitahu informasi mengenai workshop kepenulisan ini namun ada cukup banyak peserta yang datang. Hal itu membuat kami yakin bahwa kehadiran FLP memang harus hadir ditengah-tengah masyarakat untuk menyemarakan kegiatan membaca dan menulis. Sesi tanya jawab berlangsung cukup seru, ada peserta yang menanyakan bagaimana cara menerbitkan buku dan lain-lain.
Foto bersama pembicara Udo Z.Karzi, seluruh peserta dan pengurus FLP Lampung
Taraaa, foto bersama setelah acara pun menjadi moment yang tak bisa dipisahkan. Dengan semangat kak Jarwo mengajak kami semua untuk berfoto bersama di lobi Lampungpost. Berbondong-bondong kami mengikuti derap langkah kakinya, berbaris rapi sembari memegang banner. Alhasil, Udo pun berada ditengah-tengah para peserta dan panitia yang riuh rendah ingin difoto. Entah berapa kali jepretan foto dan berapa kamera yang mengabadikan moment tersebut. Karena begitu banyak yang ingin difoto menggunakan kamera mereka, sampai-sampai aku pun kehabisan gaya berpose :v
Selfie dulu kitaaa :D
Tapi yah meskipun katanya mati gaya karena kebanyakan foto, ujung-ujungnya pun ga bisa melihat kamera sedikit nganggur. Ada jeda waktu sedikit, jepret foto-foto. Disitulah letak kebersamaan kami terasa sekali, melihat setiap moment yang diabadikan melalui sebuah gambar cukup membuat reda rasa rindu disaat kami mulai lelah. Senyuman, binar bahagia dan juga semangat yang terpancar dari para FLP'er Lampung selalu saja ajaib. Sangat ajaib sekali! Kegiatan kami lanjutkan dengan makan bersama, dan kak Adit dan Aula yang menjadi pemesan makanan siang itu hihii. Mereka berdua pun bergegas membeli makanan mengingat kami memang belum makan sedari tadi.
Makan siang bersama di kantin Lampungpost
Sembari menunggu kedatangan kak Adit dan Aula tentu saja dengan makanannya hehee, kami melaksanakan shalat terlebih dahulu. Pokoknya satu hari itu kami booking kantor Lampungpost, selesai shalat kami berjalan-jalan menyusuri kantor Lampung. Rasa penasaran kami yang kuat mendorong kami untuk masuk kedalam ruang produksi. Dan lagi-lagi berfoto disana, setiap ada tempat baru tak lupa kamera selalu siap hehee. Yaah, begitulah jika sudah bersama-sama banyak keseruan yang hadir ditengah-tengah kami.
Numpang foto di ruang produksi Lampungpost :p
Tibalah waktu yang tak mengenakan, musyawarah luar biasa. Karena Kak Jarwo akan melanjutkan study nya di Megelang untuk belajar menjadi penghapal Al-quran. Mau tidak mau posisi ketua FLP Wilayah Lampung pun harus dia tinggalkan dan digantikan dengan yang baru. Suasana haru mulai menyelimuti ruang pertemuan Lampungpost. Kak Jarwo dan mba Desti mulai menyampaikan LPJ Kegiatan hampir selama setahun ini. Mba Desti hampir mentitikkan air mata ketika amanah itu pun harus ia pikul di pundaknya. Mba Destilah yang nantinya akan melanjutkan estafet kepemimpinan kurang lebih setengah tahun kedepan. Semangat mba, kami semua akan selalu ada untuk mendukungmu! :)
Aku bersama para sesepuh FLP Lampung nih :D
Bergegas kami menuju tempat tinggal kak Jarwo yang tak jauh dari kantor Lampost. Karena kak Jarwo akan melanjutkan study di Magelang, maka buku-buku itu pun harus pindah rumah. Kami bersama-sama menyortir buku, buku bacaan yang kami rasa tidak layak untuk taman baca kami pisahkan untuk kemudian kami loakkan. Menyortir buku dengan gembira, bercanda satu sama lainnya. Kak Jarwo pun menghidangkan kami teh yang katanya akan diekspor keluar negeri. Selesai menyortir buku yang lumayan banyak, kami rencananya akan memabawa buku yang ada sekitar enam kardus itu kerumah kak Agus Kindi. Tentu saja dokumentasi itu penting, sempat terjadi kehebohan saat selfie lantaran Tika yang tak bisa mengambil gambar hehee. Kak Adit pun mengambil alih kamera dan menyebut Tika Oneng hihii, sebutan baru untuk mereka berdua. Kak Adit sebagai oneng satu, dan tika oneng dua :p
Kehangatan bersama keluarga mba Maya, Fatih, Caca dan baby Z yang gemesin
Sudah lama kami berencana berkunjung ke rumah mba Maya, baru hari itu kesampaian. Menembus malam, kami beriringan mengendarai sepeda motor menuju rumah mba Maya. Tiba disana kami disambut dengan senyuman mba Maya, ada Caca dan Fatih yang pintar-pintar dan lincah, suami mba maya dan juga tidak lupa baby Z yang baru menginjak tiga bulan. Baby Z kami memanggilanya walaupun nama sebenarnya zahra hehee, mba Maya menyuguhkan empek-empek yang langsung tandas kami lahap. Bawaan lapar dan tentu saja karena enak dan gratis hehee. Kami berbincang banyak hal disana, sampai lupa waktu kalau sudah hampir jam delapan malam. Kami berpamitan melanjutkan perjalanan ketempat selanjutnya.
Dan akhirnya berakhir dengan makan malam bersama :))
Agenda kami hari itu pun ditutup dengan makan bersama di sebuah warung makan pecel lele di kawasan Ratu. Lengkap sudahlah kebersamaan kami hari itu, sedari pagi mulai dari taman baca dan berakhir di sebuah tempat sederhana dengan celotehan ringan ditemani desir angin yang lembut. Lelah memang, namun itu rasanya semua terbayang dengan mengingat kebersamaan yang tlah terjalin. Semoga kebersamaan hangat ini akan selalu selalu dan selalu terjalin. Semoga semakin mesra, semakin bahu-membahu melucut semangat menulis, menebar virus menulis, dan bersama-sama menebar kebermanfaatan untuk sekitar. Salam.
Echi Sianturi
Kadiv. Kaderisasi FLP Bandarlampung
Our memories is like a cup of coffee. There are two sides, sweet and little bit bitter :'))