Amarah Sang Lautan

April 25, 2014

            

Aku sudah menjadi tanah, rumah naungan bagi mereka. Tak pelak, sesekali aku sesak dengan bertambahnya rakyatku yang semakin hari semakin berjubel. Mungkin aku harus mewajibkan program KB (Keluarga Berencana). Terlebih lagi bahaya semakin mengancamku, aku terlalu rapuh menahan ancaman dari luar. Terkadang keindahanku menjadi bumerang tersendiri, manusia-manusia itu terlena. Aku tak mampu berkutik.
  
“Hal apa di dunia ini yang menjadikanmu ada menjadi tiada”, suatu ketika salah satu penghuniku bertanya sembari mengibaskan sirip mungilnya.

“Keegoisan”, timpal Ikan Marlin raksasa.

“Keegoisan?”, sahut ikan mungil. Raut wajahnya menampakkan kebingungan. 

“Keegoisan menjadikan kita ada menjadi tiada. Tidakkah keegoisan membunuh kita secara perlahan? Membunuh hati kita. Pertama membuatnya busuk seperti teman-teman kita yang mati terdampar di daratan. Kemudian, raib hilang seperti bangkai teman-teman kita yang terkikis oleh alam”. Timpal Ikan Marlin Raksasa.

Aku hanya tersenyum mendengarkan percakapan antara kedua ikan tersebut. Diam-diam aku menaruh kagum dengan si Ikan Marlin Raksasa. Dia bukan hanya bijaksana namun juga tersohor. Aku pernah mendengar kabar dari daratan bahwa dia menjadi sangat terkenal ketika dia menjadi salah satu objek tulisan oleh penulis asal Amerika. Ernest Hemingway, begitu namanya jika aku tak lupa. Judul bukunya “The Old Man and The Sea”. Aah, laut. Aku disebut-sebut dalam bukunya. Diam-diam aku juga merasa senang.

Ikan Marlin Raksasa dan si ikan mungil terdiam beberapa saat. Tak ada lanjutan percakapan antara mereka berdua. Mereka sepertinya sedang menikmati laut, menikmati diriku. Menikmati air tenang nan biru, menikmati keindahan terumbu karang yang berwarna-warni. Mengamati segerombolan ikan warni-warni yang berenang gesit diantara rumput laut.  Iya, laut adalah diriku.  

Sejenak kemudian, datanglah penyu hijau memecahkan kesunyian. Wajahnya nampak gusar, tak ada tanda-tanda kebahagiaan. Dia baru saja melakukan perjalanan ke daratan selama beberapa hari. Para rakyatku berkumpul mengelilinginya, mencoba menerka-nerka apa yang telah terjadi kepada si penyu hijau sang penggembara. 

“Bedebah! Manusia-manusia itu semakin merusak tempat tinggal kita”, umpat  penyu hijau menahan emosi. Ikan-ikan, kuda laut, paus dan yang lain hanya terdiam hening menanti kelanjutan cerita dari sang penyu hijau. 

“Pantaskah mereka disebut manusia? Jika mereka saja tak mampu bertoleransi dengan kita. Sampah mereka buang dengan seenaknya ke tempat tinggal kita. Aku kasihan dengan laut. Laut yang menaungi kita selama ini”, ujar penyu hijau sedih. 

Aku terdiam, lagi-lagi hanya mampu terdiam. Bukan hal yang baru lagi bagiku. Aku tercemar, aku dijadikan sebagai tempat sampah dari daratan. Tak mengapa. Aku juga tak keberatan ketika para manusia melakukan ekspolitasi secara besar-besaran. Mencari kapal Titanic di kedalaman laut, aku. Mencari Atlantis, pulau yang hilang. Plato dengan sukses menyulap pemikiran manusia dengan bukunya  Timaeus dan Critias. Entahlah, akupun tak tahu apakah benar Atlantis itu ada. Aku begitu luas, mungkin saja pulau yang kabarnya tenggelam itu tersembunyi disudut.  Atlantis tenggelam ke dalam samudra "hanya dalam waktu satu hari satu malam". Dan lagi-lagi aku dijadikan sebagai kambing hitam. Laut. 

“Kalian tahu apa yang menjadikan kita lebih istimewa daripada manusia?”, tanya Ikan Marlin Raksasa. “Tuhan tidak memberikan kita nafsu untuk merusak”. 

“Dan sesungguhnya, kita lebih baik dari manusia. Mungkin. Kita sadar bahwa alam harus seimbang. Tuhan menciptakan lautan dan daratan sebagai dua aspek kehidupan yang tak mampu dipisahkan. Daratan untuk manusia dan makhluk darat lainnya, dan laut untuk kita, aku, penyu, paus dan kita semua”. Ujar penyu hijau bijak. 

Aku tersenyum simpul. Mereka seharusnya bisa menyaksikan bagaimana aku, lautan bisa  menghidupi makhluk laut mulai dari yang sebesar plankton sampai yang sebesar ikan paus. Belajarlah sebagaimana lautan kata orang, dalamnya itu mencerminkan bagaimana kedalaman ilmu yang bisa menguasai banyak bidang sebagai bekal dalam hidup. 

Terdengar dentuman keras dari atas. Suara bom. Aku terkejut-kejut, para makhluk laut lainnya, bergegas berenang dengan gesit menyelamatkan diri mereka masing-masing. Bersembunyi disela-sela terumbu karang yang kokoh. Mereka ketakutan, ikan-ikan kecil menangis. Aku menyaksikan sendiri bagaimana manusia memporak-porandakan aku beserta para rakyatku. 

Aku menangis hebat, aku tersakiti. Aku emosi, aku keluarkan segenap kekuatan untuk membela diri. Gelombang besar aku keluarkan, jika perlu aku akan mengeluarkan senjata pamungkasku, tsunami. Aku muak, aku lelah dengan segala tingkah laku manusia yang pogah. Aku iba melihat makhluk-makhluk kecil yang bernaung denganku, mereka tak memiliki daya upaya untuk melawan. Aku yakin murka Tuhan akan segera datang.

Manusia perlahan tapi pasti menjadikan aku ada menjadi tiada. Pada akhirnya ketiadaan aku kelak, membuat mereka sendiri menjadi tiada pula...


Bandar Lampung.
21 April 2014
Cerpen yang gagal dikirim.


You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Total Pageviews

Translate