Kaki Langit
November 07, 2014
Di Kaki Langit dimana kini kaki
lunglai ini berpijak
Ada secerca harap merengkuhnya
Ada secerca harap menikmati
keindahanya
Dan ada secerca resah
meninggalkannya
Gelap.
Buyar sudah pengeliatan yang telah dia perjuangkan sedari tadi. Tubuh mungilnya
ambruk tak berdaya, jatuh diantara dedaunan yang basah karena embun. Kabut yang
lumayan tebal menyelimuti Pesagi senja kala itu. Tak henti bibirnya bergumam tak
jelas. Tak jelas lagi apa yang dia rasakan. Dia hanya tahu bahwa hidupnya kini
tengah di ujuk tanduk.
Angin membawa jeritannya, dalam
hati. Tak terdengar sedikitpun suaranya, gaung dari dalam hatinya lantas tak
membuat para rekannya tersadar. Jilbab hitamnya berubah menjadi kecoklatan,
tanah becek mungkin bekas hujan kemarin. Sepatu
Treking1nya pun sudah tak jelas warnanya, mungkin coklat atau
putih? Carrier2 dipunggung
membatasi geraknya, beban dipunggung semakin menambah penderitaan yang dia
hadapi.
Dewi. Begitu teman-temannya biasa
memanggil dirinya. Wanita yang sudah memasuki kepala dua, wanita yang begitu
bergairah dengan alam. Namun, kini nasibnya bagai di bawa angin. Diterbangkan kemudian
di hempaskan. Pendakian yang memakan waktu cukup lama menguras energinya. Perjalanan
yang cukup jauh dari Bandar Lampung ke Pekon Bahway Liwa sedikit demi sedikit
mematikan sendi-sendi kebugarannya. Dia tak suka perjalanan panjang yang
berkelok-kelok. Beberapa kali dia sempat muntah, mengeluarkan sisa-sisa makanan
yang sudah dia lahap. Matanya berkunang-kunang, perutnya bagaikan dililit tali.
“Ibu…”, rintihnya pelan. Dewi berusaha
bangkit mengumpulkan kepingan-kepingan energi yang tersisa. Puncak sebentar
lagi pikirnya. Ditahannya tubuh yang lunglai dengan tongkat kayu yang setia
menjadi teman perjalanan menyusuri gunung Pesagi. Kacamatanya kembali berembun,
pandangannya mengabur. Hari semakin gelap, dan semakin mempersulit jalur
pendakian menuju puncak.
“Dew, kamu baik-baik saja kan?”,
seseorang menepuk pelan punggung Dewi yang gemetaran. Dewi menoleh pelan, dia
tersenyum kepada sosok yang selalu menjaga dan memperhatikannya selama
pendakian ini. Rendra, partner hidupnya
kelak.
“Aku baik-baik saja, Cuma kelelahan
hebat saja”, ujar Dewi pelan. Tubuhnya kembali mengigil, giginya gemeretuk
mengeluarkan bebunyian pelan.
“Berapa jam lagi menuju puncak?”, Tanya
Dewi dengan memelas.
“Mungkin sekitar 3 jam lagi”, sahut
Rendra lugas. Dewi menelan ludahnya, Tuhan 3 jam lagi. Apa aku dapat bertahan
selama itu, desahnya dalam hati.
Pesagi masih ramah setidaknya sampai
senja ini. Tak ada hujan, meskipun panas matahari cukup menyengat dan membakar
kulit. Pesagi berhasil menguras energy para pendaki yang hendak menaklukan
puncak tertinggi di Lampung ini. Trek nya yang lumayan sangat menguji kekuatan
fisik. Diawal perjalanan saja para pendaki sudah disajikan dengan
tanjakan-tanjakan terjal, ketika menaikinya nafas menjadi tersenga-senga, kaki
menjadi lunglai. Tanjakan putus asa, begitu masyarakat sekitar menamainya. Tanjakan
yang memang siapapun putus asa untuk menaikinya.
Sebelum memasuki hutan rimba, para
pendaki menyusuri rumah-rumah penduduk, kebun sayur dan kebun kopi milik warga.
Bau khas kopi menjadi selingan para pendaki untuk sedikit rileks menikmati
pendakian Pesagi.
“Aku memang mengagumi sosok Soe Hok
Gie. Namun, aku tidak mau mati konyol di gunung seperti ini…”, Dewi menarik
nafas panjang. Nafasnya mulai sesak mungkin karena pengaruh udara yang semakin
tipis. Mereka semakin mendaki semakin tinggi. Kabut semakin tebal, hawa dingin
semakin membuat bulu kuduk merinding.
Dewi teringat percakapan dengan
teman kampusnya beberapa hari yang lalu sebelum dia memutuskan untuk mengikuti
pendakian Gunung Pesagi. “Dew, aku sarankan kamu ga usah ikut daki gunung
pesagi”, ujar Yayu teman karibnya.
Dewi masih sibuk mengunyah
makanannya, saos sambal menempel di bibir mungilnya. Dewi sempat tersedak
mendengar perkataan Yayu, “Memangnya kenapa kak?”
“Besok malam kan malam satu syuro,
dalam tradisi Jawa sih di larang untuk berpergian jauh. Apalagi sampai mendaki
gunung”. Dewi menelan ludah. Dia seseorang yang tak percaya dengan mitos, namun
disisi lain dia mengerti bahwa Yayu mengkhawatirkan keselamatannya.
“Hohoo, aku baik-baik aja kok yu.
Insya Allah. Aku sih ga percaya dengan mitos yang begituan. Percaya sama Tuhan
aja deh, kalau memang seandainya terjadi sesuatu dengan aku ketika pendakian
nanti. Hal tersebut sudah ditakdirkanNya. Bukan karena malam satu Syuro atau
semacamnya”, Dewi dengan santai menjawab pertanyaan Yayu. Dia kembali sibuk
dengan lahap memakan sosis kegemarannya.
“Iya, aku tahu dew. Terserah kamu,
kamu harus jaga diri baik-baik yah ketika disana”, pesan Yayu tulus, Dewi
dengan semangat mengacungkan kedua jempolnya kearah Yayu sembari tersenyum
lebar.
Pikiran Dewi melayang jauh, tubuhnya
tak kuasa lagi menahan letih yang tak terkira. Kepalanya seperti ditimpa batu
besar. Tubuhnya semakin mengigil, nafasnya semakin sesak. Tak dihiraukannya
lagi teman-temannya yang sudah pergi jauh mendahuluinya di depan. Kini dia
hanya sendirian, tak ada orang lagi di sekitarnya. Nafasnya semakin memburu,
suasana semakin mencekam. Suara-suara burung saling bersahutan, desiran angin
yang menerpa dedaunan dan pohon menciptakan simfoni khas gunung.
“Aku takut…”, Dewi tersungkur
ketanah. Ada rasa takut hebat yang mendera hatinya, kematian. Tak ayal lagi
pikirannya melanglang buana tak tentu arah. Seketika saja airmata mulai turun
membasahi pipinya. Dia teringat dengan ibunya di rumah, dengan ayah dan
saudara-saudaranya serta keponakan-keponakannya yang lucu. Tangis dewi pun
semakin menjadi. Apa ini yang namanya sakaratul maut Ya Rabb? Tanya dewi dalam
hati.
Dia melihat sekebak bayangan hitam
di dekat sebuah pohon nan besar. Dia tak begitu jelas, apa itu? Dia berusaha
meyakinkan dirinya bahwa dirinya akan baik-baik saja dan pulang dengan selamat
ke rumah. Tidur di kasur empuknya yang hangat kembali. Dewi berteriak kencang,
dia hilang kesadaran.
Teman-temannya yang mendengar
teriakan Dewi kaget yang segera turun untuk melihat apa yang terjadi. Mereka kaget
sekaligus panik mendapati Dewi yang sudah hilang kesadaran, dia pingsan. Suhu badannya
begitu dingin, bibirnya mulai gemetar dan membiru. Nafasnya sesak, nafasnya
memburu seakan tengah berlari dengan sangat kencang.
“Dewi, wi bangun wi”, gurat wajah
Rendra menampakkan kekhawatiran yang sangat. Mereka menggotong tubuh Dewi yang
tak berdaya ke tempat yang lebih landai. Mereka semua Nampak bingung bercampur
dengan kecemasan. Tak hentinya mereka membangunkan Dewi dari ketidaksadarannya.
Tubuh mungil Dewi kini dibalut dengan sweater,
jaket tebal dan sleeping bag. Alunan do’a
dan tilawah mengalun di Pesagi senja itu. Teman-teman Dewi mengalunkan
ayat-ayat suci Al-Quran sembari sesekali menyadarkannya dengan sedikit mencubit
pipi Dewi. Nihil, Dewi pun tak kunjung sadar.
Entah apa yang tengah terjadi di
alam bawah sadarnya. Dewi tetap tak kunjung membuka matanya. Para rekan
sependakian semakin resah, dan mereka sepakat untuk turun gunung dan membawa
Dewi ke Rumah Sakit guna mendapatkan perawatan Intensif.
Dalam ketidaksadarannya, Dewi
meneteskan airmata. Dia tetap diam, dia tetap tak sadarkan diri. Semuanya masih
terasa gelap. Tak ada cahaya, tak ada suara. Hanya sayup-sayup entah suara
milik siapa. Hatinya sakit, jantungnya berdebar kencang. Sesungguhnya, tak ada
satu pun manusia di dunia ini yang mampu menangkal kematian. Karena kematian
adalah hal mutlak. Kematian sudah ditetapkan kapan dan di mana bahkan sebelum
kita di lahirkan ke dunia.
“Aku
memang mengagumi sosok Soe Hok Gie. Namun, aku tidak mau mati konyol di gunung
seperti ini…”
Pesagi
menjadi saksi dimana kekuatan manusia tak ada daya di hadapanNya. Ada sebuah
kepercayaan di mana kepogahan menjadi luntur ketika seseorang mencoba untuk
mendaki sebuah gunung, gunung apapun itu. Bahwa, manusia tak ada apa-apanya. Manusia
tak mampu menaklukan alam, manusia hanya makhluk lemah yang berusaha menjadi
kuat setelah berulang kali ditempa oleh kerasnya kehidupan.
Perlahan Dewi membuka kedua kelopak
matanya, pelan sangat pelan. Teman-temannya menghela nafas lega, tersenyum
lembut kepadanya. Kepala Dewi masih sangat terasa berat. Matanya masih
mengabur, dia masih tak mampu melihat jelas siapakah orang-orang yang tengah
berkerumun di sekelilingnya.
“Rabb, entah apa yang sudah
menimpaku. Rasanya beberapa saat yang lalu, Ruh ku serasa mau dan akan lepas
dari raga ini.”, gumam Dewi didalam hati. Senja di Pesagi, begitu indah dan
manis meskipun agak melankolis. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Burung-burung
terbang berkelompok pulang ke sarang hangat mereka masing-masing.
Kaki Langit saksi KuasaMu
Atas manusia-manusia ceroboh
Atas manusia-manusia pelupa
MengingatMu dalam desah nafas
mereka
“Dan beruntunglah orang-orang yang
diberikan hidayah. Dan beruntunglah orang-orang yang diberikan teguran olehNya.
Tuhan masih menyayangi dan menunjukkan kesalahan-kesalahan hambanya. Betapa takutnya
aku di antara alam bawah sadarku, jika aku benar-benar meregang nyawa di sini. Dan
aku baru tersadar bahwa aku, kita semua belum shalat hari ini…”, ujar Dewi
pelan. Tangisnya pecah tak lagi tertahankan, teman-temannya terdiam dan
menunduk lesu. Senja di Pesagi kala itu semakin melankolis.
***
Catatan:
Sepatu Treking1 : Sepatu
khusus untuk mendaki gunung
Carrier2 :
Tas Gunung
Echi
Sianturi
Bandar
Lampung, 7 November 2014
10:05
WIB
0 comments